"Kau bisa meninggalkan tempat ini besok."
Irene menoleh heran. Ia meletakkan spatula yang ia pegang. "Apa yang kau katakan?" ucapnya. Ia memandang wajah datar Seokjin. Ia tahu bahwa Seokjin sedang serius saat ini, terlihat dari sorot matanya.
"Aku mau kau meninggalkan tempat ini besok."
Irene semakin tidak mengerti. Ia menghampiri Seokjin, hendak menyentuhnya namun tangannya ditepis kasar oleh lelaki tersebut.
"Apa yang kau lakukan?!"
"Berhenti seakan kau itu bodoh!"
Ucapan Seokjin membuat Irene terkejut. Hatinya tercubit nyeri.
"Apa maksudmu, Kim Seokjin!?" Kali ini intonasinya meninggi. Ia balas menatap Seokjin tajam.
"Kita berakhir!" bentak lelaki tinggi itu untuk pertama kalinya membuat Irene terdiam, tak percaya dengan perubahan sikap Seokjin yang mendadak.
Sesaat ia tertawa konyol. "Apa aku bermimpi?" gumamnya garing. Ia mengusap wajahnya kasar sebelum wajahnya kembali menajam seperti semula. Namun kali ini lebih memudar.
Ia menatap meja yang kosong. "Alasan apa yang membuatmu ingin mengakhiri hubungan ini?" Ia menatap Seokjin meminta penjelasan.
Seokjin tersenyum sinis. "Apa aku harus membuat sebuah alasan?" Tatapannya semakin menajam.
"Tentu saja kau harus! Aku tidak bisa menerima sesuatu yang aku sendiri tidak tahu dimana kesalahanku! Ini tidak adil!" Irene balas menatap Seokjin tajam. Wajahnya ia angkat untuk menunjukkan bahwa ia takkan bisa dengan mudah diperintah.
Seokjin dapat melihat kesedihan tersirat dalam wajah angkuhnya. Gadis itu berusaha untuk kuat walaupun sebenarnya ia tidak. Ia tahu itu. He knows everything going on her mind. Because he just like her , now.
"Karena aku tidak pernah melihatmu sebagai Bae Joohyun. Tidak pernah ada yang namanya Bae Joohyun. Kau hanyalah Bae Sumin. Dan bagiku selamanya kau merupakan Bae Sumin, bukan Joohyun."
Fakta mengejutkan itu menohok Irene. Spatula yang dipegangnya terjatuh. Airmatanya meleleh dengan sendirinya. Ia tak pernah menyangka bahwa kenyataannya akan sepahit ini. Ia tak menyangkan cintanya akan berjalan seperti ini.
"Kau gila!" umpatnya. Ia mengusap airmatanya kasar.
"I tell the truth as you want."
Tanpa memperdulikan perkataan Seokjin, Irene berlari pergi meninggalkan Seokjin. Ia pergi. Benar-benar pergi. Bahkan untuk sekedar mengenakan jaket saja ia tidak sempat. Irene terlanjut sakit hati. Setelah mati-matian ia berusaha membuka lagi hatinya pada Seokjin, ia masih saja dipermainkan. Bodoh.
Seokjin berdiri diam, mendengarkan dengan seksama langkah kepergian Irene dengan sendu. Sebulir airmata jatuh dari irisnya. Ia menatap miris masakan yang baru saja dimasakkan Irene untuknya, makanan kesukaannya.
Ia tak pernah menyangka akhirnya akan seperti ini. Gadis itu tak pernah tahu bahwa ia mengeluarkan airmata lebih banyak dari yang dia kira. Ia menyesal bahwa tidak ada cara lain selain menyakiti gadis tersebut. Ia terpaksa melakukan itu demi kebaikan Irene sendiri.
She never knew he's broken.
###
Irene berlari mendatangi rumah kumuh yang tak terurus. Ia menerobos masuk dan tak menemukan siapapun atau apapun. Ia mengelilingi seluruh ruangan namun masih tetap tak mendapatkan sesuatupun. Seluruh barang-barang disana tak ada yang aneh.
Ia terduduk dengan lesu. Seharusnya tempat ini dimana ia selalu menemukan Seokjin.
Tempat ini merupakan tempat berkumpulnya Seokjin dengan teman-temannya. Tempat yang hampir 24 jam lelaki datangi dan membuat Irene harus menariknya pulang pada malam hari. Such a nice memories.
And now she got nothing. He left. And she cant find him anywhere.
Irene melangkah gontai mengelilingi seluruh ruangan. Mengingat beberapa kenangan manis bersama Seokjin yang mereka lakukan dirumah ini. Walaupun mereka telah berpisah dengan tidak baik, Irene tak bisa memungkiri bahwa ia masih mencintai lelaki itu. Irisnya menatap sendu sticky notes yang tertempel di dinding bersamaan dengan foto dirinya dan Seokjin.
If something happen, it would be nice if you come to my funeral
Sekarang ia hampa. Mengetahui bahwa Seokjin pergi membuatnya hancur.