Sejak hari itu, Jimin mati rasa. Hatinya hanya untuk satu orang dan ketika orang tersebut dikembalikan pada tanah, maka ia kubur juga hatinya. Tak satupun yang dapat menghidupkan lagi hatinya yang mati.
Ia bagai zombie, hidup namun tak berakal.
Delapan tahun menjajaki dunia abu-abu. Bekerja dibawah tekanan. Berhambur uang dan pelacur. Tidak ada yang membuatnya bersemangat selain dendam yang ia kobarkan. Sudah berapa banyak hal ia coba untuk hidupkan kembali hatinya? Jimin bosan. Ia ingin merasakan sensasi yang dulu pernah ia rasakan dengan seseorang. Mungkin seseorang yang dapat membuat kupu-kupu diperutnya berputar. Atau orang yang akhirnya mampu membuat Jimin terus-terusan menemuinya. Seseorang yang mungkin akan Jimin lindungi habis-habisan. Jimin rindu gadisnya.
Jimin tahu bahwa itu tidak akan terjadi. Ia sudah mati sejak lalu.
Itu yang ada dipikirannya sejak hari pemakaman.
Jimin bersandar pada punggung kursi dengan wajah pucat. Botol-botol minuman keras didepannya tidak berhasil menarik perhatian, justru matanya mengekor dari ujung ke ujung. Khusus malam ini Jimin memilih untuk minum sendirian diruang yang ia bayar mahal. Khusus malam ini Jimin ingin bernostalgia tanpa terganggu siapapun dan apapun, termasuk musik pub yang kencang.
Rencananya gagal ketika seseorang menerobos masuk dengan sengaja. Mengenakan baju provokatif, berdandan sangat cantik dengan rambut kelam panjang. Namun yang menarik perhatian Jimin adalah dua mata yang tertanam di wajahnya. Dua mata biru, persis seperti miliki gadisnya. Mau tak mau membuat Jimin kembali tersedak akan kenyataan. Orang itu sama dengan gadisnya, namun tidak sama juga.
"Apa yang kau lakukan?" buka Jimin tanpa berusaha menutupi wajah pucatnya. Orang itu, Hirai, tersenyum. "Hanya penasaran siapa yang memesan ruangan sebesar ini untuk sendirian. Need a company?"
"Tidak, terima kasih. I'd like to be alone by myself," tolak Jimin.
"Well, lucky you. Im the one who need a company." Hirai tak terbantahkan. Gadis itu mengambil duduk tepat disamping Jimin, menuangkan minuman ke gelas Jimin kemudian meminumnya.
Disampingnya, Jimin menjadi tegang. Ia merasa sedang duduk bersama gadisnya diruangan yang sama. Ia mencoba untuk menyadarkan diri tapi cukup susah. Terkejut, tentu saja. Gadisnya sudah mati. Gadisnya sudah dimakan oleh tanah. Ia yang menyaksikan semua. Ia saksikan ketika jasad gadisnya diangkat dari sungai, membiru dan tak bernyawa. Ia saksikan kursi roda yang ia hadiahkan untuk gadisnya turut diangkat dari dasar sungai. Ia juga menyaksikan bagaimana tanah perlahan menutup matahari untuk bertemu gadisnya. Bagaimana mungkin gadisnya berada disini, disampingnya sambil menyesap minuman? Konyol.
"Lupakan pertemuan pertama kita. Apa yang membuatmu kesepian?" tanya Hirai tak peduli bahwa kehadirannya tak diundang. Jimin tidak memberikan jawaban, membuat Hirai akhirnya menjawab pertanyaanya sendiri, "Ah, wanita...."
Kali ini sedikit mencondongkan tubuh pada Jimin, mendekatkan bibirnya pada telinga lelaki itu, Hirai membisiki, "Bagaimana jika aku menemanimu malam ini?"
Push button Jimin seperti terpencet. Bisikan tersebut membuatnya merinding. Jika disebut sensual, maka ia pernah mendengar yang lebih sensual dan keluar dari bibir artis papan atas, double shot tapi tidak mampu mencolek push button-nya. Satu bisikan mampu membuat Jimin naik. Ia terangsang. Setelah sekian tahun impoten.
"Kau masih akan menolak padahal dibawah sana sudah minta diperhatikan?" Hirai adalah gadis superior. Ia mendominasi. Bahkan tidak ragu untuk mengelus sesitifitas Jimin yang memang sudah harus take care of. Dan Jimin harus menahan nafas ketika tubuhnya hampir bergetar.
"Apa yang kau inginkan?"
"Aku juga kesepian."
Kedua pandangan saling bertemu. Lagi-lagi Jimin merasa nostalgia. Ingin sekali ia cumbui gadis ini seraya membayangkan gadisnya.
"Kau boleh membayangkan diriku sebagai wanita yang kau suka."
Hirai seakan mampu membaca pikiran Jimin. Merasa mendapat lampu hijau, Jimin kecup kening gadis itu lembut, lalu membisik, "Aku merindukanmu..."
Setelah itu kecupan berubah menjadi cium dan cium berubah menjadi cumbu. Lidah tidak lagi berada dalam satu mulut, saling bertarung untuk merebutkan tahta baru. Jemari sudah menjelajah tanpa meninggalkan satu inci kulit tak tersentuh. Pakaian tidak lagi menempel, terganti oleh lembutnya kulit ciptaan Tuhan.
Jimin marah. Ia lepaskan semuanya pada Hirai. Kerinduan delapan tahun yang ia pendam akhirnya meledak. Ia cumbu setiap inci dari tubuh Hirai, membayangkan ketika ia cumbu tubuh gadisnya dulu. Sensasinya seperti bercinta ketika pertama kali. Dulu ia juga dalam keadaan marah sampai tidak peduli apapun.
Kemarahan Jimin tidak menguasai sisi dominan Hirai. Aktivitas ini harus mutualisme, saling menguntungkan. Sebelum Jimin meminta, ia sudah berikan. Sebelum Jimin memulai, ia sudah memegang kendali. Namun siapa sangka akhirnya Hirai yang memulai desahan? Permainan ini di luar kontrol. Memabukkan dari alkohol. Menerbangkan lebih dari ganja. Mereka dua insan yang saling melempar rindu.
Titik puncak akhirnya muncul. Permainan diputus dengan nafas terengah dan kepuasan. Bersama dalam satu pelukan, Hirai masih merasakan tubuhnya menyatu dengan Jimin. Dua lengan kekar yang melingkari pinggangnya justru makin mengencang, memaksa Hirai juga mengencangkan pelukan pada leher Jimin. Mereka saling bernafas satu sama lain. Tidak ada suara yang mengambang di udara.
Dengan lembut, Hirai mengelus surai cokelat Jimin yang sedikit lembab. Terus begitu sampai nafas kedua kembali normal. Ia hirup wangi shampo yang tidak pernah berubah bertahun-tahun lalu. Ada sedikit cubitan di hatinya. Bukan salahnya jika memori tersebut kembali muncul pada dirinya yang baru.
Menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Jimin, dalam frekuensi terkecil Hirai bergumam,
"Aku juga merindukanmu..."