Sweat - 2

1.7K 137 1
                                    

Tubuh anak lelaki itu terhempas dengan kasar ke dinding. Dengan wajah yang lebam dan beberapa luka di tangannya, anak lelaki itu berdiri dengan takut-takut. Kepalanya senantiasa ia tundukkan demi melewatkan adegan dimana tongkat yang diayunkan oleh ayahnya mengenai dirinya. Ia pasrah. Seluruh perlakuan yang ia terima dari lelaki bernama "ayah" hanya menjadi sebagian kecil dari kepahitan hidupnya.

"Anak sialan! Gara-gara kau! Kau penyebabnya! Kau yang menyebabkan istriku mati! Enyahlah!"

Sebuah pukulan yang dua kali lipat lebih keras mendarat diperut anak lelaki itu. Membuatnya langsung memuntahkan darah. Ia terjatuh. Juga airmatanya.

Sedih. Ia bukan menangisi rasa nyeri yang menjalar kesekujur tubuhnya. Tapi ia menangisi perkataan yang diucapkan oleh ayahnya barusan. Ya, benar. Ialah penyebab kematian ibunya. Ibu yang mengandungnya selama sembilan bulan. Ibu yang menyerahkan dirinya pada perampok bersenjata disaat dirinya hampir saja dibunuh. Ibu yang tersungkur didepannya dengan bersimbah darah. Ibu yang bahkan ia tak boleh untuk menghadiri pemakamannya. Ibu yang ia sayangi.

Dan sekarang yang tersisa hanyalah memori.

Hoseok, anak lelaki yang tengah mengerang kesakitan, terisak pelan. Ia juga menyesal. Jika saja waktu dapat diputar kembali, ia lebih memilih untuk mati ditangan perampok tersebut daripada menyaksikan ibunya sekarat.

"Kau, akan ku kirim kau ke neraka dimana tempat seharusnya kau berada!"

Sebuah kapak terangkat tinggi. Mengayun dengan cepat kearah Hoseok. Hoseok memandangi wajah beringas lelaki yang selalu ia panggil "ayah". Ia tahu ini saatnya ia untuk pergi.

"Selamat tinggal, Ayah. Aku menyayangimu..."

Hoseok dapat merasakan tubuhnya terbelah. Darahnya berhenti mengalir. Jantungnya berhenti berdetak.

And its just another fucking nightmares!

Dengan nafas tersengal-sengal dan keringat yang bercucuran, Hoseok terbangun. Menyandarkan dirinya pada dinding dibelakangnya. Masa lalunya yang kelam terus membuntuti mimpi-mimpinya. Membuat selalu terbangun dalam keadaan kacau.

Jam dua pagi dan ia tahu ia tidak akan bisa tertidur lagi.

Hoseok mengambil segelas air dari dapur. Menegaknya hingga tandas. Bunyi-bunyian yang terdengar dari luar rumahnya membuatnya dapat sedikit bernafas lega. Setidaknya bukan hanya ia yang terjaga saat ini.

"Bekerja dengan giat, Lee Jonghyun-ssi!" seru Hoseok pada lelaki yang tengah memasukkan beberapa barang rongsokan ke truk besar yang dikemudikan oleh partner kerjanya yang biasa mereka panggil 'Onew'. Jonghyun mengangkat tangannya keatas sambil tersenyum. "Terbangun lagi, Jung Hoseok!?"

Hoseok hanya tertawa dan mengangguk sebagai jawabannya. Mereka cukup akrab karena rumah Hoseok yang terletak didalam tempat penampungan barang rongsokan. Mau tak mau Hoseok mengenal seluruh pegawai yang bekerja di dinas kebersihan, termasuk Jonghyun dan Onew.

"Hei, Hoseok-ah! Berikan aku segelas air putih. Aku sangat lelah..."

Onew yang baru saja turun dari kursi kemudi langsung menghampiri Hoseok yang berdiri diambang pintu. Lelaki itu tanpa ragu menduduki kursi kayu yang dipersiapkan Hoseok untuk siapapun yang berniat untuk duduk. Sontak perkataan Onew mengundang protes dari lelaki berotot yang bekerja keras mengangkat barang-barang rongsokan.

"Kau baru saja turun dari kursimu dan kau bilang kau lelah?! Menurutmu siapa yang lelah disini?!"

"Aku mengemudi sepanjang malam dan kau dengan nyamannya tidur! Biarkan aku beristirahat!"

Onew tak mengubris lagi protesan Jonghyun karena Hoseok telah menyodorkan segelas besar air putih untuknya. "Kau yang terbaik, Hoseok-ah!"

"Jadi, bagaimana? Kau masih memimpikannya?" tanya Onew pada Hoseok yang tengah menyelipkan sebatang rokok dimulutnya. Hoseok mengangguk cuek. "Seperti biasa."

"Sudah kukatakan padamu, aku mengenal beberapa orang yang bisa menyembuhkanmu. Lihatlah, hanya karena sebuah mimpi sialan kau harus mengalami insomnia sepanjang malam..."

"Itu bukan mimpi, Hyung. Mereka menyebutnya memori."

"Terserah apa katamu. Dan juga, jika kau ingin melacak keberadaan ayahmu, aku mengenal beberapa orang. Bilang saja padaku jika kau berminat. Hanya saja mereka tidak melakukannya dengan gratis."

Hoseok diam sebentar saat mendengar kata 'ayah' terlontar dari mulut Onew. Sudah sangat lama kata itu membekas dengan tak baik dihatinya. Tapi lelaki itu malah tertawa kecil. "Tenang saja, Hyung. Aku mengetahui dimana dia berada..."

"Benarkah?!" seru Onew tak percaya. Namun sedetik kemudian kembali lagi seperti biasa. "Ey, tentu saja aku lupa. Kau menguasai hal-hal seperti itu dengan teman-teman Fangyan... Fangpan..."

"Bangtan."

"Ya, itu dia. Bangtan..." Onew mengangguk-angguk yakin. "Kalian adalah geng satu-satunya yang tak pernah terlibat keributan."

Perkataan Onew membuat Hoseok sedikit terbahak, namun ia tahan. Mana mungkin ia mengatakan situasi yang sebenarnya. "Apa kami terlihat seperti geng? Kurasa kami terlihat seperti anak-anak tanpa masa depan," alih Hoseok.

"Kalau begitu biarlah kau tidak memiliki masa depan agar kau terus tinggal disini. Aku tidak bisa membayangkan orang lain yang akan tinggal disini selainmu."

Seharusnya Hoseok merasa marah dengan perkataan Onew, tapi lelaki itu memang berharap seperti apa yang Onew ucapkan. Ada sesuatu yang tidak bisa ia tinggalkan dari tempat ini dan tidak juga bisa ia temukan ditempat lain. Rasa aman.

Dan juga, gadis imigran ilegal yang sedang mengupingnya dari balik pintu.

"Kau benar, Hyung. Aku memang harus berada disini."

LUSTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang