"Kita sudah sepantasnya untuk bersama!"
"Tidak, Park Jimin! Itu tidak akan pernah terjadi!"
"Aku akan membuktikannya!"
"Just giving up, okay?! Kau terlalu jauh untukku dan aku tidak pantas untuk dirimu..." Suara itu melemah, perlahan menjauh dari pendengaran. Ia pasrah, namun tangannya tak membiarkan gadis itu lepas. "Kumohon, berikan aku kesempatan. Aku akan membuktikan bahwa kau..."
BRUK!
Tubuh itu terjatuh kelantai, melepaskan genggamannya pada lengan gadis berambut cokelat itu. Tubuhnya lelah dan tak bertenaga. Pikirannya kacau. Selama berbulan-bulan ia berjuang mewujudkan cintanya, menyerahkan seluruh harapannya dan kini cinta yang ia pertahankan mati-matian kandas ditangannya gadisnya sendiri. Pada akhirnya ia selalu menemukan jawaban yang sama.
You'll never find the different ending on the same books.
Jimin mengerang setelah cukup lama ia tak sadarkan diri. Irisnya perlahan terbuka dan menyipit ketika mendapat pasokan cahayan yang terlalu banyak. Ia hendak bangun, namun kepalanya pusing tak tertahankan. Visualnya seakan berputar. Sepertinya ia mengalami vertigo.
Ia menyimpan lengannya pada dahinya. Ia menghirup nafas perlahan, mencoba menghilangkan pusing beratnya. Matanya menyalang keatas, menatap atap yang tak familiar dimatanya. Memorinya kembali memutar kejadian terakhir sebelum ia jatuh pingsan.
Mereka saling berjuang dan gagal.
Hanya dengan memikirkannya saja membuatnya menangis. Yeah, ia tahu bahwa dirinya telah melepaskan gadis itu. Dan itu membuatnya benar-benar marah.
Memaksakan dirinya, Jimin bangun dan meraih ponselnya. Namun nomor yang ia tuju tidak tersedia, dengan artian bahwa ia benar-benar kehilangan gadis itu. Ia kehilangan semua kontak yang berhubungan dengannya. His cellphone has been reset, by her.
Kang Seulgi, apa kau benar ingin berhenti di penghujung ini?
###
"Apa kau gila!?"
Mata lelaki yang telah berkepala empat itu menyalang merah. Sebuah kertas ia lemparkan dengan murka tepat pada muka anaknya sendiri, Park Jimin. Jimin hanya menutup matanya dan sebuah tamparan dilayangkan dipipinya. Ia menyentuh pipinya yang berdenyut dan kembali menatap Ayahnya yang terus berteriak padanya.
"Kau memutuskan setengah dari kontrak aset penting perusahaan?! Kau mau membuatku bangkrut?!"
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" ucapnya frustasi. Lelaki itu tak mencoba untuk melawan. Tak ada perlawanan sama sekali di matanya, ia sedih. Matanya berair. "Aku mencarinya terus menerus hingga aku menyakiti diriku sendiri..."
"...dan kenyataan yang ketemukan adalah bahwa Ayahku orang dibalik semuanya. Aku harus bagaimana? Melihatmu terus berjaya sedangkan aku tertatih-tatih?" Jimin meneteskan airmatanya. Hatinya sakit. Setelah perasaannya hancur, kini orang yang paling ia percaya mengkhianatinya. Andai saja menghilang lebih mudah dari kenyataan, Jimin lebih memilih meninggalkan dunia yang kejam ini.
"Kuikuti semua keinginanmu, kau hancurkan hidupku. Aku ini anakmu atau alatmu? Bagaimana bisa kau menjadi sangat jahat?" Jimin benar-benar terpuruk. Ia bahkan hampir terjatuh sesaat sebelum tangannya meraih meja dibelakangnya.
"Is it beautiful a funeral without tears?"
Ia menatap Ayahnya sendu. Seluruh kesedihannya tersirat jelas. Ia hancur.