SERENA AKIN

44 3 0
                                    

Kereta kuda telah disiapkan sejak dini hari. Beberapa pelayan sibuk mengemas barang-barang untuk dimasukkan dalam kereta. Kediaman Count Akin sedikit ribut dari biasanya, seakan seseorang hendak pergi jauh.

Serena menyelesaikan sarapannya bersama dengan seluruh anggota keluarga, sebuah hal yang terjadi jika ada kepentingan saja. Suasana hati Countess Akin pun nampak baik karena sang anak haram akhirnya meninggalkan rumah.

"Mereka mengatakan bahwa akan menjemputmu di perbatasan dan kau hanya boleh membawa barang-barangmu saja," kata Count Akin yang juga telah menyelesaikan sarapannya.

"Bagaimana dengan pelayan?"

"Mereka bilang hal itu sudah diatur."

Serena hanya tersenyum seraya meraih gelas dan meminum wine yang ia pinta di pagi hari. Ia melirik seluruh anggota keluarga lain yang menyantap hidangan dengan tenang.

"Sepertinya tidak ada yang sedih dengan kepergianku," sindir Serena yang menusuk tepat di tenggorokan Count Akin, ayahnya. Berusaha untuk menutupi kegugupannya, Count Akin menyisip air kemudian berkata, "Hal ini tidak bisa dihindari demi kedamaian dua negara."

Alasan klasik yang membuat Serena seperti orang bodoh. Semuanya juga tahu Count Akin berusaha menjual anaknya demi sebuah tambang mineral yang dikabarkan bernilai besar. Setelah mengetahui bahwa Count Akin memiliki dua putri yang cantik, kerajaan Navidia memberikan syarat pernikahan sebagai bahan tukar. Tidak tanggung pula, pernikahan dengan Raja Kian yang terkenal dengan sifat kerasnya. Kabarnya dia begitu pemarah hingga membuat dua istrinya terdahulu mati.

Secara tidak langsung, Count Akin menjualnya untuk mati.

Serena berjalan menuju kereta kuda. Tak jauh darinya terlihat kesibukan pelayan yang menata taman dengan indah seperti tidak peduli bahwa sebentar lagi ia akan mati.

"Sayang sekali kau tidak bisa menghadiri ulang tahunku besok, Serena."

Ia membalikkan badan mendengar suara lembut nan memuakkan saudarinya. Sedikit mengejutkan ketika ia melihat seluruh anggota keluarga ikut mengantar kepergiannya walaupun dengan wajah yang tidak sedih. Bahkan Aroy, saudara laki-laki yang selalu menatapnya penuh hasrat, ikut berdiri dibelakang adik perempuannya yang culas.

"Aneh sekali, Mila, bukankah kau yang merengek agar aku pergi sebelum ulang tahunmu?"

Perkataan Serena yang langsung membuat wajah Mila memerah malu. Ia hendak membalas namun ditahan oleh Aroy.

"Kurasa aku harus segera pergi. Selamat tinggal semuanya, mari bertemu lagi dikehidupan selanjutnya."

Kereta kuda yang membawa Serena pergi meninggalkan kediaman Count Akin. Serena memandang untuk terakhir kalinya rumah tempat ia dibesarkan dalam kesengsaraan. Tak terasa, air mata jatuh ke pipinya. Bukan, ia bukan menangisi keluarganya.

Ia menangisi kehidupannya yang menyedihkan.

"Kau sudah hidup dengan baik, Serena."

LUSTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang