Sudah lima bulan Seokjin berada di desa ini. Ia tidak menyangka akan bertahan cukup baik dengan fasilitas sekolah yang minim. Jumlah muridnya hanya delapan, tapi itu tidak menghalangi Seokjin untuk tetap mengajar. Desa terpencil di pegunungan antah berantah ini memiliki pemandangan yang menakjubkan. Bahkan jika ia memotretnya dan menunjukkan pada teman-temannya di Seoul, mereka tidak akan percaya bahwa foto tersebut asli.
Seokjin memandang murid-muridnya yang sedang bermain dengan penuh tawa. Mungkin bukan hanya pemandangannya yang indah, sepertinya ada sesuatu yang mengalihkan perhatian Seokjin sejak hari pertamanya menginjakkan kaki di desa ini.
"Saem, kau percaya kan jika Joohyun Nuna tidak bisu? Dia sering bercanda dengan kami!"
Jaemin terus saja melontarkan pertanyaan itu pada Seokjin setiap hari. Lelaki kecil itu sepertinya kesal karena banyak yang tidak percaya pada omongannya. "Saem! Kau percaya, kan? Joohyun Nuna itu tidak bisu! Dia bahkan bercerita banyak tentang kakeknya yang seorang pejuang!"
Lelaki bersurai hitam itu sedikit tersenyum. "Entahlah, Jaemin-ah. Saem tidak pernah mendengarnya berbicara. Tapi jika kau berhasil membuatnya berbicara pada Saem, maka--"
Belum sempat Seokjin melanjutkan kalimatnya, Jaemin sudah berlari menuju gadis yang ia panggil Nuna. Gadis yang sedang bermain bersama anak-anak lainnya langsung ditarik menuju hadapan Seokjin. Memaksa gadis itu untuk berbicara padanya.
"Maafkan tingkah Jaemin tadi, Bae Saem. Dia sepertinya sedang bersemangat."
Mereka berjalan kembali ke desa. Seokjin membantu mendorong sepeda Joohyun yang tidak muat menampung hasil-hasil karya di sekolah tadi. Joohyun hanya tersenyum sambil memberi isyarat tangan 'tidak apa-apa'. Sekali lagi Seokjin terenyuh. Betapa cantiknya Joohyun. Dia tidak dibayar, namun secara sukarela mengajar kesenian di sekolah. Dia bermain dengan anak-anak selama jam istirahat berlangsung agar tidak ada anak yang bolos. Bahkan dia tidak segan menyiapkan makan siang untuk anak-anak. Sepertinya berada lima bulan disini sudah cukup membuat Seokjin mengetahui Joohyun luar dalam.
"Irene. Bolehkah kupanggil dengan nama itu, Bae Saem?"
Kali ini tangan Joohyun kembali bermain. Walaupun bukan isyarat tangan yang umum digunakan oleh penyandang bisu, tapi Seokjin dapat mengerti maksudnya.
'Jika itu memiliki arti yang bagus, aku tidak keberatan.'
"Itu adalah nama seorang dewi yang membawa kedamaian. Bukan bermaksud menyinggungmu, tapi kau memang dewi kedamaian bagi anak-anak..."
Sejak saat itu, nama Irene menjadi populer.
Tiga bulan berlalu dan Seokjin masih belum mendengar Irene berbicara. Irene masih berkomunikasi dengan isyarat yang terkadang salah di mengerti oleh Seokjin. Misalnya saat Irene memintanya untuk membawakan buku diatas meja, Seokjin malah membawa mejanya. Atau saat Irene menyuruhnya untuk membawakan sapu, Seokjin malah membawa lap pel. Sebenarnya Seokjin sedikit geram dengan komunikasi mereka, hanya saja ia tidak bisa melakukan apapun.
Dalam hatinya, ia percaya perkataan Jaemin.
Irene tidak terlahir bisu. Ada hal yang berbeda antara bisu pada umumnya dan kebisuan Irene. Jika pada umumnya penyandang bisu berusaha mengeluarkan suara bising untuk membantu mereka berbicara, Irene tidak melakukan itu. Gadis itu bahkan tidak mengeluarkan rintihan saat terluka, jika pada umumnya penyandang bisu hanya akan mengeluarkan sebuah 'aaa' tak jelas. Sudah banyak penyandang bisu yang Seokjin temui saat ia mengajar di sekolah luar biasa. Dan permasalahan Irene berbeda.
Seokjin pernah bertanya pada temannya yang seorang psikolog, kemungkinan Irene memiliki trauma yang membuatnya enggan berbicara dengan orang lain.
Tersisa empat bulan lagi sebelum kenaikan kelas dan berakhirnya masa mengajar Seokjin di desa ini. Seokjin tidak ingin pergi tanpa mengetahui permasalahan Irene. Maka dari itu ia sering bertanya pada penduduk desa dan semuanya mengatakan bahwa sejak Irene pindah ke desa ini, dia tidak pernah berbicara. Bahkan beberapa mengatakan bahwa kedua orang tua Irene adalah pecandu narkoba sehingga saat Irene lahir, ia cacat. Tak sedikit yang menyayangkan Irene yang berparas cantik namun tidak dapat berbicara, seperti merak yang kehilangan ekornya.