"Seokjin, aku tidak ingin kau bermain kasar!"
"Seokjin, kubilang pelan-pelan!"
"Ya, Kim Seokjin!"
Aku berhenti mencium lehernya. Juga menghentikan permainanku. Kutatap wajahnya yang telah memerah. "Bagaimana jika kau yang memegang kendali? Aku tidak bisa melakukan ini jika kau terus melarangku," ujarku kesal. Wanita ini juga terlihat kesal.
"Kau bilang kau ingin mendukung kehamilanku dan mengatakan bercinta saat hamil adalah sesuatu yang bagus. Tapi kau sendiri tidak mengkhawatirkan kandunganku!"
Hell, aku tidak tahu jika dia benar-benar menganggap serius ucapanku. Aku mengarangnya. Aku hanya ingin bercinta, itu saja.
"Kalau begitu kau bercinta saja dengan tunanganmu itu!"
Dan dia meninggalkanku begitu saja. Ditengah permainan kami. Shit, bagaimana aku tidak frustasi?!
"Bae, sudah kubilang itu bukan keinginanku!"
Aku menghampirinya yang tengah memakai kembali baju-bajunya. Ia membalasku dengan dingin. "Aku tidak peduli. Itu bukan urusanku."
Benar juga. Itu bukan urusannya, mengapa aku harus repot menjelaskan padanya? Ah, tapi ini urusanku jika pertunangan itu mengganggu hubunganku dengan Irene. Kami terikat oleh bayi diperutnya. Jadi ini juga menjadi urusan Irene, tidak peduli bagaimanapun.
Dengan sangat terpaksa, aku kembali memakai bajuku kemudian menghampiri Irene yang sedang menyeduh teh. "Tega sekali kau menghentikan percintaan kita... Eh? Apa ini?"
Aku terkejut saat Irene menyodorkan sebuah kotak yang dibungkus dengan rapih. Saat kubuka, ternyata isinya dasi hitam dengan motif kupu-kupu.
"Itu hadiah," celetuk Irene. Aku kembali menatapnya bingung. "Untuk apa?"
"Pertunanganmu. Aku turut bahagia," ucapnya sambil tersenyum. Lalu ia menyodorkan lagi sebuah kotak yang dibungkus dengan warna pink. "Dan bisakah kau berikan ini pada tunanganmu? Bilang padanya aku merasa bersalah karena telah menggunakanmu. Kau bilang kau tidak akan menikah, jadi aku menyetujui kesepakatan ini. Pada akhirnya kau memang akan menikah. Aku merasa tidak enak dengan tunanganmu itu. Sampaikan permintaan maafku, ya?"
Irene menatapku penuh harap, namun aku balas menatapnya curiga. "Kau tidak marah padaku? Kukira kau akan marah,"
Mendengar perkataanku, Irene tertawa kecil. "Untuk apa aku marah? Tujuanku denganmu sudah jelas. Aku ingin membuktikan pada orang-orang yang dulu menjatuhkanku dan kau hanya membantuku. Selepas itu kau bebas atas kehidupanmu. Aku berterima kasih padamu, Kim Seokjin."
Oh, dear, kumohon jangan seformal itu. Situasi ini membuatku canggung.
"Oh, baguslah jika seperti itu."
Hanya itu, Kim Seokjin? Aku harus mengeluarkan lebih banyak kata lagi. Aku baru saja mengubah hidup seseorang menjadi hidup impiannya. Banggakan dirimu. Bersikap sombonglah seperti biasanya.
"....kau memang harus berterima kasih padaku." Ya Tuhan, mengapa aku mengatakannya dengan sangat kaku? Benar-benar merusak image-ku sebagai seorang narcissist.
"Oh, iya..." Sambil meletakkan gelasnya, Irene kembali menatapku. "Aku harus menjaga jarak denganmu, kan? Aku tidak ingin tunanganmu merasa terganggu dengan kehadiranku...."
###
Mungkin seharusnya aku memberitahu Seokjin arti dari 'menjaga jarak' yang kumaksud adalah sebuah perpisahan. Tapi mengapa lelaki itu tetap mendatangi rumahku? Menungguku pulang dari kantor? Membelikanku kebutuhan ibu hamil?
Aku bisa melihat mobil Seokjin dari ruanganku. Lelaki itu lagi-lagi menungguku. Padahal ini masih sore dan aku membawa mobilku sendiri. Aku tidak membutuhkan tumpangan lelaki itu. Bahkan aku berharap jika lelaki itu tidak muncul dihadapanku lagi. Aku benar-benar merasa tidak enak dengan tunangannya walaupun aku tidak pernah bertemu dengannya. Bisa-bisa aku dibilang sebagai wanita penghancur hubungan mereka. Aku tidak mau ter-judge seperti itu.
Haruskah aku menyuruhnya pergi?
Sebaiknya memang begitu.
"Kim Seokjin, aku tahu kau berada didepan kantorku."
"Aku juga tahu kau mengintipku dari ruanganmu. Haruskah aku berkunjung kesana?"
"Jangan pernah melakukannya! Dan bukankah sudah kubilang berhenti menjemputku? Aku tidak akan meninggalkan mobilku dikantor lagi!" amukku pada ponselku sendiri.
"Kalau begitu bagaimana jika menggunakan mobilmu saja? Aku tidak masalah meninggalkan mobilku."
Dan lelaki itu membuktikan perkataannya.
Ia mengantarku pulang, dengan mobilku sedangkan mobilnya ia tinggalkan begitu saja. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa ia melakukan semua ini. Apa ia masih merasa terikat dengan kesepakatan dulu?
Seokjin mengantarku sampai didepan pintu apartemenku dan menyerahkan kunci mobilku sebelum ia berbalik untuk pergi.
"Kau akan pulang dengan apa?"
Sial, Bae Irene. Mengapa kau menanyakan hal tersebut? Kau harusnya tidak peduli, toh ini juga kemauannya untuk mengantarku dengan mobilku.
"Taksi, tentu saja," jawab Seokjin cuek.
Haah... sepertinya aku memang tidak bisa mengehentikan kebaikan hatiku. Tiba-tiba saja aku menyodorkan kembali kunci mobilku pada Seokjin sambil berkata, "Pakai mobilku. Besok akan kuambil sekalian mengantar mobilmu. Setelah itu kumohon berhenti menemuiku. Urusan kita sudah selesai, Kim Seokjin."
Alih-alih mengharap respon apapun, aku lebih memilih masuk kedalam rumah secepat mungkin. I'm so done with him.
"Apa salah jika aku ingin terus dekat dengan anakku?"
Tanganku yang hendak mendorong handle pintu terhenti.
"Kau tidak bisa menjauhkan ayah dari anak tersebut."
Inilah yang kutakutkan sejak awal. Seokjin berusaha untuk merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya juga.
Anak kami.