Barikade yang berjajar lurus mengelilingi seluruh pagar sekolah terlihat awas. Empat cowok yang berdiri di belakang barisan berdiri seraya mengawasi dari kejauhan. Satu-satunya cowok yang berjalan menyeruak barisan dan memimpin pasukan dapat diidentifikasi sebagai jenderal. Jenderal tersebut berjalan sedikit dan menunggu hingga kemunculan musuh. Ketika dari perempatan terdengar riuh gemuruh kaki yang berlari cepat, jenderal tersebut langsung memberi perintah.
"Anak dua belas maju! Anak sebelas jaga gedung! Jangan sampe ada yang lolos!"
Begitu perintah diteriakkan, maka pasukan terpecah. Makian beserta amunisi yang dilayangkan sudah menyatakan bahwa aparat sekolah pun tidak ingin terlibat. Karena semua kini berada di bawah kendali sang jenderal, maka bisa dinyatakan bahwa ini perang.
Tak ingin tertinggal, sang jenderal ikut dalam pertempuran. Namun tujuannya bukan budak-budak, tetapi satu orang yang berkedudukan sama dengannya. Orang yang juga dinyatakan sebagai pemilik tunggal kekuasaan. Jika Putra Garuda memiliki Julian Juventus sebagai jenderal, maka Trianda punya Maximillie Avenus sebagai penggerak massa serta penyulut bara api di keduanya.
Tawuran bukan lagi hal baru bagi Julian. Bahkan kegiatan itu hampir menjadi makanan harian baginya. Demi menjaga kesejahteraan SMA Putra Garuda, Julian terpaksa menjabat sebagai jenderal sejak kelas sepuluh. Darah dingin dan leadershipnya membawa Julian hingga kini, berada di barisan terdepan dalam setiap pertempuran. Bukannya sok menjadi pahlawan sekolah, tapi jika sudah keadaan genting seperti ini aparat pun tidak sudi untuk menyerahkan nyawa mereka. Maka sudah menjadi tugas Julian sebagai malaikat bertahta api melindungi apa yang menjadi sarangnya.
Julian menunggu hingga Maxim maju, tetapi sepertinya kali ini musuh bebuyutannya tersebut tidak memiliki niat untuk menemuinya yang berarti bahwa perang kali ini murni hanya untuk menyulut api. Cowok itu mengangguk mengerti ketika Maxim memberikan senyum yang hanya mereka berdua tahu maksudnya, kemudian berbalik badan dan mengambil amunisi dari sekeranjang batu yang sudah dikumpulkan. Dilemparnya batu tersebut dan hampir mengenai Maxim yang berada di barisan paling belakang. Memang tujuan Julian bukan untuk melukai musuhnya, tapi hanya untuk memberikan peringatan bahwa sejauh apapun ia akan mampu melampaui Maxim. Bukan hanya kekuatan, tapi Julian juga mempunyai tekad tersembunyi.
Seperti perang pada umumnya, jenderal tidak berada di medan perang. Julian berlari ke bagian belakang gedung yang juga di jaga ketat oleh beberapa siswa dan jika beruntung beberapa guru juga ikut membantu walaupun yang mereka lakukan hanyalah ceramah sana-sini. Daerah belakang bisa dikatakan cukup sepi karena jalur yang cukup susah, harus melewati kebun singkong dan menyebrangi parit besar untuk sampai, tapi untuk beberapa orang yang memiliki semangat juang tinggi, maka daerah belakang bukan masalah baginya. Dan pada akhirnya mereka harus mundur karena kurangnya back up. Julian tidak berlama-lama di daerah belakang karena anak-anak yang berjaga sudah merokok dengan tenang.
Ketika Julian hendak menyisir sekeliling sekolah, ia mendengar teriakan histeris dari lab biologi. Giginya langsung gemeretuk keras. Rahangnya menegang bukan main. Seseorang berhasil menembus barikade dan membuat masalah di sarangnya. Langkah yang semula santai berubah menjadi lari cepat. Julian tidak mencari senjata apapun karena untuk hal seperti ini ia akan menggunakan tangannya sebagai hukuman.
Letak lab biologi yang lumayan jauh dari gedung utama membuat teriakan histeris tersebut tidak dapat terdengar jelas oleh pasukannya di medan perang, tapi Julian tahu bahwa sesuatu telah terjadi. Nathan yang melihat Julian berlari kencang menuju gedung lab juga menduga hal yang sama, penyusup.
"Ardi, gantiin gue!" serunya dan langsung meninggalkan posisi. Ia tidak akan membiarkan Julian sendirian melawan penyusup seperti waktu itu. Walaupun larinya sudah kencang, Nathan masih kalah dengan lari gila-gilaan Julian. Pintu lab langsung ditendang begitu berada dihadapan Julian. Mata besarnya menyisir seluruh ruangan yang kosong melompong. Dari belakang, Nathan muncul.
"Mana penyusupnya?" tanya cowok itu hampir kehabisan nafas karena menyaingi lari Julian.
Julian diam dan matanya langsung tertuju pada cewek yang terduduk dilantai dengan wajah pucat pasi. "Mana orangnya?" tanya Julian langsung sedangkan Nathan memeriksa seluruh ruangan.
Cewek yang dipelototi oleh Julian tidak menjawab, tapi telunjuknya mengarah pada box besi diatas meja. Pandangan Julian beralih pada hal tersebut. Badannya ia tegakkan untuk melihat apa yang ditunjuk oleh si cewek.
"Ya Tuhan..." desis Julian. Ia menutup matanya untuk menahan amarah karena dibodohi oleh setumpuk mayat kodok. "Nat!" panggilnya. Kepala Nathan menyembul dari ruang asistensi. "Bawa ni cewek ke kelasnya sekarang!"
Nathan yang tidak tahu menahu hanya menurut karena melihat wajah Julian yang tidak ramah. Ketika melihat tumpukan kodok diatas meja, Nathan dapat menebak apa yang menyebabkan si cewek berteriak histeris. Dan hal itu hampir membuatnya tertawa jika saja tidak ada Julian disana. Dibantunya si cewek berdiri sambil berkata, "Yaudah lah. Mending lo bersihiin di depan sana, Maxim udah cabut daritadi."
Nathan membawa keluar cewek tadi dan langsung memanggil seorang siswa yang tidak sengaja ia temukan ketika berjalan mengendap-endap menaiki tangga. "Heh, sini lo!" Siswa apes itu dengan patuh mengikuti perintah Nathan. "Saya nggak denger apa-apa kok, Kak..." cicitnya ketakutan.
"Yang sopan sama senior!"
Siswa apes mengangguk patuh.
"Kelas berapa lo?"
"Sepuluh empat, Kak..."
"Kenal nih cewek?"
"Kami sekelas, Kak..."
"Bawa ni cewek ke kelas. Dan bilangin ke lainnya jangan ada yang balik sebelum diperiksa satu-satu!"
"Iya, Kak." Siswa apes tersebut perlahan menjauh, namun sayup-sayup masih dapat terdengar obrolan yang didominasi oleh si siswa apes. "Kok lo bisa bareng Kak Julian sih si lab biologi? Sama Kak Nathan pula. Mereka ngapain lo sampe pucet gini sih, Arin..."
Langkah Julian terputus seketika. Matanya membulat sempurna. Tubuhnya mendadak kaku.
"Kenapa lagi? Anak-anak udah nungguin." Nathan yang sudah tidak sabar untuk melakukan pembersihan meninggalkan Julian yang terpaku sendirian.
Dalam koridor yang sepi, jantungnya berdetak kencang. Keringat membasahi pelipis. Lidahnya kelu untuk bergerak. Julian membalikkan badannya cepat, namun sudah tidak ada siapa-siapa. Mungkinkah ia salah dengar? Nama itu terucap begitu jelas dan mampu meruntuhkan bentengnya.