Regina berusaha menyembunyikan kakinya ke balik jaket orang di depannya. Giginya yang gemeretuk hanya bisa ia sembunyikan agar tidak menimbulkan bunyi. Senior gila! Bisa-bisanya mengadakan ospek dadakan di kaki gunung dengan alasan camping. Mana ada camping disuruh baris terus diguyur oleh air satu persatu. Mana ancamannya gak boleh ada yang kedinginan lagi!
Benar-benar sebulan sebelum perkuliahan dimulai, para maba mendapatkan info bahwa akan ada acara bonding tahunan antara senior dan maba di sebuah tempat per-campingan. Oh jelas, Regina Shuya, si ekstrovert yang senang membangun tali pertemanan dengan semangat mendaftarkan diri pada urutan pertama. Haha terkadang ia memang ingin menyumpahi sisi ekstrovertnya itu.
Tentu saja bonding yang dimaksud adalah tipu muslihat senior-senior yang tetap ingin melanjutkan tradisi ospek namun dengan sembunyi-sembunyi karena peraturan fakultas yang melarang kegiatan tersebut diadakan kembali. Dan para maba yang polos dan tolol, tertipu mentah-mentah.
Regina tidak tahu lagi apa yang diteriakkan oleh seniornya dengan toa karena ia kedinginan parah. Bagaimana caranya untuk menghangatkan diri tanpa diketahui oleh senior, dan tidak menjadi beban kelompok juga.
Senior yang menyatakan bahwa dirinya adalah ketua kegiatan dan yang paling getol marah-marah menarik seorang cowok dari barisan depan, lalu menggiring cowok tersebut ke pleton dimana senior-senior lain berkumpul. Regina menyaksikan hal tersebut dengan mata berkunang, namun masih bisa menyadari bahwa bukan hanya senior prodinya saja melainkan senior dari prodi lain bahkan fakultas lain pun ikut hadir. Beberapa dari mereka mengenakan seragam pdh dengan tulisan BEM jelas dipunggungnya. Wow, ia tidak tahu apakah dirinya yang sudah salah memilih universitas atau memang organisasi di universitasnya yang bobrok abis.
Hendak mengalihkan pandangan, Regina kembali mendapati segerombolan orang dengan menggendong tas besar nan tinggi datang menghampiri pleton senior. Sepertinya mereka pendaki yang baru saja turun dan kenal dengan senior-senior disana.
Regina mengalihkan pandangannya kembali pada senior yang menggantikan ketua kegiatan berbicara menggunakan toa. Ucapannya tidak jelas, tapi dilihat dari intonasinya senior ini tidak terlalu menggebu-gebu justru terkesan lebih kalem. Tiba-tiba, salah satu pendaki yang tadi ia lihat menghampiri si senior ini dan membisikkan sesuatu.
Selesai berbisik, si senior menerikkan dengan keras,
"Cewek yang pake jaket kuning barisan ketiga dari belakang, maju sini!"
Regina terdiam. Hah? Gue?
"Iya, lo! Cepet maju!" titah si senior.
Sedikit bingung dan banyak takut, Regina berdiri dan keluar dari barisan. Mampus deh kalo ternyata ia dibawa ke pleton senior juga. Mana tahu apa yang bakal ia dapat disana. Ia tidak siap untuk menjadi bulan-bulanan senior.
"Thanks ya, Doy!" ucap pendaki tersebut sambil menepuk kecil pundak si senior. Setelah itu beralih pada Regina. "Yuk!" katanya, kemudian berjalan duluan.
Mengikuti langkah si pendaki dengan manut, Regina tahu bahwa ia akan dibawa ke pleton senior. Sudah, habislah nyawa dan karirnya sebagai maba. Selamat datang di kerasnya dunia mahasiswa.
"Duduk," kata si pendaki, menunjuk pada kursi plastik yang ia dapat dari senior lain. Regina yang sedari tadi agak menunduk takut, semakin menunduk ketika ia duduk dan mendapat tatapan-tatapan dari para senior. Anehnya, disekitarnya dikelilingi oleh rombongan pendaki yang ia lihat tadi, entah itu mengobrol seakan dirinya tidak terlihat ataupun yang sekedar merokok sambil menyeduh mie instan. Para senior yang sebelumnya berlagak dewa justru hanya memandanginya dari jauh saja. Agak remang memang, tapi Regina bisa tahu bahwa tatapan mereka tidak bagus.
"Lepas jaketnya."
Anjrit.
Regina justru semakin mengeratkan jaketnya yang lembab.
"Lepas jaketnya, trus ganti pake ini biar gak kedinginan." Si pendaki menyodorkan sebuah jaket agak lusuh dan sedikit bercak lumpur ke depannya. Mau tak mau Regina mendongakkan kepalanya ketika menerima benda tersebut.
Tangannya tiba-tiba terhenti.
Ia tidak minus, matanya sehat dan normal namun karena minimnya pencahayaan di tempat camping ini membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas. Senior berbaju pdh BEM pun secara tidak sengaja ia lihat ketika melintas di bawah lampu. Wajah ketua kegiatan yang marah-marah saja ia tidak tahu yang mana.
"Ambil dong," kata si pendaki dengan senyum sedikit tengil.
—Akan tetapi ketika Regina melihat wajah si pendaki yang mengiringnya ke pleton senior, ia ingat jelas.
Pendaki itu Theo, kakak kelasnya waktu SMA.
Dan juga mantan pacarnya.