Suasana pemakaman yang sepi. Hembusan angin yang tidak terasa serta gugurnya daun sebagai tangisan pohon. Tanah luas yang selalu diselimuti oleh kesedihan itulah pemakaman. Jauh diatas komplek kuburan yang tidak beraturan, sebuah gundukan tanah cokelat terlihat sangat baru. Nisan tak bernama menghiasi tanah tersebut.
Tepat disamping kuburan baru itu, hadir benda yang tak lazim dijumpai pada tempat mengerikan ini. Seorang lelaki memainkan jemarinya lugas. Penampilannya begitu rapih, tuksedo hitam, sepatu kulit mahal serta gaya rambut terkini. Satu kancing kemeja paling atas dibiarkan tidak menyatu dan menampilkan kulit putihnya. Matanya terpejam seiring bergemanya alunan piano yang menyayat.
Cukup lama lelaki itu tenggelam dalam resital pianonya, tak sadar bahwa sedari tadi seseorang berdiri di belakangnya dalam diam. Begitu nota selesai berbunyi dan jemari berhenti bergerak, baru lelaki itu memutar tubuhnya. Ia tersenyum pilu.
"Kau sudah lama berdiri di sana?" tanyanya sendu.
"Cukup lama," jawab sosok tersebut seraya melangkahkan kakinya mendekat. Diambil alihnya sedikit kursi milik lelaki pemain piano agar mereka duduk berdampingan. Tidak ia pedulikan rok hitam selututnya yang sedikit tersibak. Ujung sepatunya menginjak pedal kanan hingga menimbulkan nada walaupun ia tidak menekan tuts. Setelah itu, barulah ia menekan satu-dua tuts secara acak. Hanya sebentar karena ia memang tidak pandai bermain piano.
Keduanya terdiam, saling menghembuskan nafas panjang.
"Mengapa kau lakukan itu?" buka lirih wanita itu tanpa menoleh pada lelaki di sampingnya, namun pandangannya tertuju pada kuburan baru tadi.
"Aku harus melakukannya."
"Kim Seokjin!" seru wanita itu ketika mendengar jawaban tanpa terselimuti rasa bersalah. Ia alihkan wajahnya pada lelaki pemain piano, Seokjin, untuk menunjukkan matanya yang bengkak dan memerah. "Dia adikku!" serunya lagi, tapi kali ini disambut beberapa tetes airmata tak diundang.
Hati Seokjin sedikit tercubit melihat wanita itu menangis, tapi wajahnya haram untuk menunjukkan perasaan tersebut. Dengan pandangan lurus tanpa emosi, Seokjin membalas tatapan penuh bara dari wanita itu.
"Nasibnya begitu malang. Kau seharusnya tidak menangisi hal tersebut, Irene."
"Kau yang membunuhnya, Kim Seokjin!" Irene tidak dapat menahan gejolak. Amarah dan kesedihan kini bercampur tanpa terpisahkan lagi. Hatinya sudah menghitam.
"Aku melakukannya untuk kita."
Saat itu juga Irene terkekeh. Pembelaan yang konyol. "Sepertinya kau yakin sekali ada 'kita' disini."
Seokjin diam. Membenarkan kalimat tersebut dalam benaknya. Tidak ingin melanjutkan pembahasan mereka, justru Seokjin kembali bermain piano. Memainkan lagu yang sama.
Irene menunggu hingga lantunan selesai, barulah ia bertanya, "Lagu apa tadi?"
"Little Ballerina Blue. Mengisahkan seorang gadis kecil yang ingin menjadi ballerina, tetapi pelatihnya malah memberinya baju berwarna biru daripada merah muda seperti yang lainnya. Hal itu membedakannya dan membuatnya hilang kepercayaan diri."
"Mengapa pelatihnya melakukan hal itu?"
"Karena gadis itu tidak sempurna. Ia hanya memiliki satu kaki untuk berpijak dan sebuah tongkat sanggahan. Tidak ada yang menginginkannya karena perbedaan tersebut, bahkan orang yang ia hormati sekalipun. Tapi karena kegigihannya akan pembuktian, akhirnya gadis itu berhasil menjadi ballerina hebat dalam semalam."
"Semalam?"
"Ia mengakhiri hidupnya. Tujuannya telah terpenuhi, lantas apa lagi yang ia inginkan?"
"Banyak hal yang bisa ia lakukan setelahnya," sanggah Irene. Seokjin tersenyum mendengarnya. "Jika aku adalah gadis itu, maka aku juga akan melakukan hal sama."
Lirikan matanya berpaling dari Irene menuju kuburan tak bertuan. "Aku tidak pernah melakukan apapun dengan tanganku, Bae. Tapi begitu mendengar adikmu terlibat dalam pengkhianatan, aku memutuskan untuk mengakhirinya dengan tanganku sendiri. Kau tahu apa motivasiku untuk mengotori tanganku dengan darah?"
Pertanyaan itu ingin mendapat respon dari Irene, jadi Seokjin sengaja menunggu hingga wanita itu menggeleng kecil. "Kau. Diriku. Kita."
"Jika aku tidak bisa membunuh adikmu, bagaimana aku bisa membunuhmu suatu saat nanti?"
Seharusnya Irene sudah mengerti, tapi ia ingin mendengar langsung dari mulut Seokjin. Ia biarkan lelaki itu mengucapkan pertanyaan tanpa jawaban.
"Apakah aku siap jika saat itu tiba?"
"Apa aku bisa memangkas cinta yang kutanam dalam hidupku?"
"Dunia ini gila, Bae. Bagaimana bisa mereka berusaha memisahkan kita yang memang tidak akan pernah menjadi satu?"
"Lalu aku menemukan ballerina biru ini. Kisah yang menyenangkan dan akan semakin menyenangkan jika aku juga melakukan hal yang sama. Jika aku berlatih untuk menekan perasaan ini, mungkin aku akan berhasil seperti ballerina biru."
"Kumainkan lagu ini pada pemakaman adikmu agar dia tahu bahwa dia memiliki peran besar bagiku kini. Aku sedang berterima kasih padanya."
Irene tertegun, begitu pula Seokjin.
Keheningan mereka terputus oleh derap langkah orang ketiga dan sebuah panggilan, "Bos Bae, kita harus pergi sekarang."
Seokjin biarkan Irene bangkit dari sampingnya. Ia bahkan tidak menoleh. Ia tahu, jika ia menyentuh sedikit saja Irene saat ini, maka sebuah peluru akan siap menembus kepalanya. Ia harus menunda kematian untuk melangsungkan tujuannya.
Dipandangnya punggung Irene yang perlahan menjauh, tapi tak kunjung berlalu. Wanita itu sengaja mengecilkan langkahnya dan menunggu Seokjin memanggilnya di saat terakhir.
"Irene."
Begitu panggilan terucap, Irene langsung menghentikan langkahnya. Ia biarkan Seokjin berada dibalik punggungnya karena jika ia berbalik, mungkin itu akan menjadi kali terakhir pertemuan mereka. Ia tidak menginginkan sebuah perpisahan.
"Aku sudah lama mati, sejak aku mengetahui tujuan hidupku adalah membunuhmu. Aku mencintaimu."
Takdir sialan.