Larian kuda saling bersahutan, menggema dalam rimbun hutan. Gerombolan kuda-kuda tersebut saling mengejar, kemungkinan mengejar satu kuda hitam yang menggila. Keadaan itu berlangsung selama dua hari tanpa istirahat. Kegilaan mutlak. Bahkan prajurit yang berperang bertahun-tahun pun tidak mau melakukan hal itu.
"Yang Mulia Leonel!!" teriak salah satu penunggang. Sia-sia saja karena jika panggilan tersebut bisa menghentikan laju kuda hitam tersebut maka mereka sudah beristirahat sejak semalam.
Leonel tahu bahwa orang-orang berusaha menghentikannya, tapi ia tidak peduli. Ia harus sampai di perbatasan sebelum terlambat walaupun amarahnya belum mereda. Pernikahan? Sejak kapan? Hal itu terus terngiang di kepalanya. Mengapa tidak ada yang memberitahu dirinya? Kenapa Serena tidak mengatakan apapun?
Pesta bangsawan bukanlah kesukaannya. Hanya beberapa bulan terakhir ia rajin menghadiri pesta karena seseorang. Ya, Serena. Wanita yang ia harap ia kenal lebih awal. Seorang wanita yang berani mengajaknya bermain api.
"Yang Mulia Leonel, aku tahu Anda sudah bertunangan, tapi bagaimana jika kita menjalin hubungan kekasih? Sebenarnya aku sudah menyukai Yang Mulai sejak lama..."
Keberanian yang menarik perhatiannya. Ia pikir ia sudah mengenal Serena cukup baik walaupun dalam waktu yang singkat, namun sepertinya ia salah. Serena lah yang akhirnya menang. Ia katakan semua hal padanya, kebenciannya, masa kecilnya, impiannya, rahasianya, bahkan perjanjian dengan Agnes, sepupunya, dalam pertunangan palsu mereka. Bagai terlena dalam ilusi, Leonel justru terperangkap dalam jebakan buatan Serena.
Pernikahan? Yang benar saja? Apa bagi Serena selama ini hubungan mereka hanya permainan?
Jika saja ia tahu sejak awal...
Jika saja para bangsawan di pesta ulang tahun Mila membicarakan hal ini lebih dulu...
Cahaya dari ujung hutan terlihat. Setelah ini adalah padang rumput luas yang menjadi perbatasan kekaisaran dengan negara lain. Ia harap belum terlambat.
Hanya saja, begitu keluar dari hutan justru ia mendapati kereta kuda yang hancur, kuda-kuda yang tergeletak mati dan mayat-mayat berlumuran darah. Leonel mengenali satu mayat berambut perak dengan kepala tertancap anak panah terduduk tak bernyawa. Rambut perak yang merupakan kebanggaan keluarga kerajaan Navidia.
"Aku, Emel Tsas Navidia, sebagai keturunan sah Navidia mendeklarasikan diriku sebagai Raja Navidia selanjutnya!"
Seruan terdengar, mengalihkan perhatian Leonal pada sekelompok orang tak jauh dari mereka.
"Serena Akin dari Bavaria, akan dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh Raja Navidia sebelumnya, saudaraku Kian Thar Navidia!"
Dalam genggaman mereka, rambut merah Serena ditarik dan pedang diayunkan. Dalam waktu singkat, kepala Serena terlepas dari badannya. Mengangkat kepala Serena tinggi, mereka berteriak penuh kemenangan.
Leonel tidak ingat lagi setelahnya.