Kamis, 12 Juni
Alan, panggilan dari Seo Hakyeon, pertama kali menginjakkan kakinya ke dalam toko perhiasan yang hancur lebur. Pecahan dinding kaca bertebaran di lantai dengan beberapa memiliki bercak darah segar. Etalase yang seharusnya penuh dengan perhiasan berlian dengan harga fantastis berhamburan, bahkan tak sedikit yang hancur. Melihat kondisi tempat, bisa dipastikan pemiliki toko rugi besar yang bahkan dapat membuatnya terlilit hutang sampai beberapa keturunan.
Salah seorang anak buah menghampirinya dan menyerahkan beberapa kantung barang bukti. “Sebuah revolver tanpa isi, tiga pisau lipat dan sepasang sarung tangan karet yang berlumuran darah,” jelas anak buahnya. Alan melirik kedalam kantung untuk mengecek benda yang disebutkan. “Sidik jari?” tanyanya yang langsung mendapat gelengan lemah. Ia sudah mengira hal itu. Jika terdapat sarung tangan, maka tiada lah jejak yang dapat dilacak.
“Menurut kesaksian pegawai yang berada pada jam kejadian, tidak ada satu pun perhiasan yang diambil. Mereka datang dan langsung menghancurkan toko, kemudian menembaki pemiliki toko berkali-kali hingga tewas.”
Alan menghela nafas panjang. “Pelakunya?”
“Empat orang. Tiga menghancurkan toko dan satunya menyeret pemilik toko lalu menembaknya. Semuanya mengenakan serba hitam dan penutup kepala,” jelas anak buahnya lagi.
Pemaparan yang cukup membuat Alan menyimpulkan, “Kalau begitu ini bukan perampokan, tapi pembunuhan terencana. Apakah ada bukti lain?”
###
Minggu, 12 Juli
Teriakan dari tenda sirkus membuat seluruh pengunjung taman bermain panik. Tanpa mengetahui alasannya, orang-orang berlarian menghindari tempat tersebut. Bagi Alan, butuh setengah jam untuk mendapatkan kabar tersebut dan setengah jam kemudian berada di tempat kejadian karena jalanan yang penuh. Awalnya ia mengira hewan-hewan sirkus lepas tapi begitu memasuki tenda, justru ia menemukan hewan-hewan terlatih itu terbaring mengenaskan dengan darah yang belum mengering. Dan satu-satunya manusia disana terbaring dengan menggenggam ring lompat dan sebagian kepalanya hancur sehingga mengeluarkan isinya. Alan mengeryit ngeri, tapi jauh lebih keren dari anak buahnya yang langsung menjauh seraya menutup mulut mual.
“Ya ampun…” Alan hanya dapat berucap demikian. Siapa yang tega melakukan hal semengerikan ini? Apalagi ditambah dengan membunuh hewan-hewan tak berdosa disini?
“Kepala, a-aku akan memanggil tim medis…” sahut anak buahnya, yang ngomong-ngomong sering Alan panggil Kopi karena selalu tercium harum kopi walaupun pria itu sudah menyangkal ribuan kali bahwa ia tidak menggunakan parfum apapun, dari kejauhan.
Setelah berkeliling dan menginterogasi beberapa saksi, ada salah satu pernyataan yang membuat Alan terperangah. Sedikit familiar.
“Ketika singa hendak melompati ring, tiba-tiba terdengar suara keras beberapa kali. Kupikir itu kembang api dari luar, tapi mendadak semua orang berlari dan memaksaku ikut berlari juga. Karena tidak tahu apapun, aku mengambil tasku sembarang dan malah menyebabkan barang-barang tercecer. Ketika aku sedang memungut barangku, dari sela-sela kaki kursi aku melihat beberapa kaki dengan sepatu bot hitam berjalan menuju panggung. Lalu aku mendengar si pawang singa berteriak. Karena ketakutan, aku akhirnya mengendap-endap secepat mungkin.”
“Apa yang diteriakkan oleh si pawang?” tanya Alan.
Sang saksi sedikit melirik keatas, berusaha mengingat poin penting dari kejadian mengerikan yang baru saja ia alami. “Aku tidak tahu pasti, tapi lebih kepada ‘aku tidak melakukan apapun! aku hanya menjalankan bisnis saja!’. Ya, seperti itu kira-kira…”