would i stay?

53 3 1
                                    

Lagi-lagi ia duduk sendiri dengan makanan yang sudah dingin. Pramusaji restoran yang berlalu-lalang ketika jam sibuk pun perlahan mulai bergerak dengan santai setelah jam sibuk usai. Meja-meja di depannya sudah berganti pengunjung entah yang keberapa kali. Naya, masih duduk pada tempatnya.

Tiga jam kemudian berlalu, orang yang ditunggu tak kunjung datang. Bahkan restoran pun nampaknya sudah bersiap untuk tutup. Akhirnya Naya mau tidak mau mengangkat tangannya untuk memanggil pramusaji. Seorang lelaki muda dengan rambut sedikit acak-acakan menghampiri Naya,

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?"

"Tolong bill-nya."

"Tagihannya akan kami kirim langsung ke kantor YM Pusat, jadi Ibu tidak perlu membayar lagi," jelas sang pramusaji akan tetapi Naya menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku akan bayar dengan uangku," bantahnya seraya mengeluarkan kartu kredit dari dalam dompet.

Seakan mengerti, sang pramusaji mengangguk dan menerima sodoran kartu kredit Naya. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa struk tagihan yang tidak Naya lirik sedikitpun.

Wanita itu lantas berdiri dan meninggalkan meja yang masih memiliki makanan tak disentuh, juga sebuah kue dengan tulisan Happy Birthday.

###

Pergantian hari dimulai, barulah orang yang Naya tunggu muncul dengan wajah lelah. Lelaki itu nampak tidak terkejut melihat Naya yang duduk menunggunya dalam diam.

"Kau belum tidur?" basa-basinya.

"Umurku sudah 30 tahun," kata Naya tanpa mengindahkan pertanyaan lelaki itu.

"Ah." Barulah raut lelaki itu nampak terkejut. "Aku lupa jika kemarin adalah hari ulang tahunmu. Maafkan aku..." ucapnya sambil mendekatkan wajahnya pada Naya dan mengecup pipi kanan wanita itu singkat.

"Selamat ulang tahun. Katakan saja hadiah apa yang kau mau," lanjutnya lagi dengan senyum simpul. Tapi Naya sepertinya tidak tersentuh dengan apa yang barusan lelaki itu lakukan. "Aku mau pernikahan," jawabnya datar.

Mendegar hal tersebut justru membuat senyum di wajah lelaki itu pudar. "Aku tidak bisa berikan itu. Minta hal lain, akan aku berikan." Lelaki itu menggeleng kecil seraya menghela nafas panjang. Naya sudah tahu akan penolakan tersebut, oleh karena itu ia tidak berharap banyak. Selama sepuluh tahun memang selalu begitu. Lelaki ini, kekasihnya, tidak mau meneruskan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Sedangkan Naya begitu setia akan kepercayaannya bahwa hari itu akan datang dimana mereka akan menikah. Sepuluh tahun ia memendam kepercayaan itu.

Tidak lagi. Ia sudah menunggu lebih dari cukup.

"Kalau begitu tidak ada yang aku mau."

Lelaki dengan kantung hitam di bawah matanya itu menatap sendu. "Hey, aku tidak bermaksud—"

"Kau harus istirahat. Kau terlihat lelah," potong Naya sambil menepis lembut lengan kekasih yang hendak memeluknya. Mengerti atas sikap Naya, lelaki itu mengangguk kecil dan beranjak.

"Katakan saja jika kau tiba-tiba menginginkan sesuatu."

Tidak ada lagi yang Naya inginkan.

###

Yunev berlari setelah turun dari mobil secara mendadak, mengejar seseorang yang baru saja meninggalkan café seorang diri. Ia menarik lengan orang tersebut dan membalikkan tubuhnya dengan paksa.

Nafasnya terengah, berangsur hilang ketika ia akhirnya melihat wajah yang seminggu ini ia cari seperti orang gila.

"Apa kau gila?!"

Dari seluruh pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya, kata gila justru yang terlontar. Seolah menunjukkan emosinya.

"Aku mencarimu! Kemana saja kau pergi?!"

Orang yang menjadi objek kemarahan Yunev hanya diam, tidak menampakkan respon apapun. Hal itu membuat Yunev tersadar dan meredam amarahnya yang menggebu. "Kenapa kau pindah?" Ia bertanya lagi namun dengan nada yang sedikit lembut.

Orang itu menatap Yunev tanpa bersalah. "Memangnya ada larangan bagiku untuk pindah?" baliknya bertanya.

Yunev menghirup nafas dalam seraya memanggil, "Naya..."

"Bukankah seharusnya pertanyaanya dibalik "kenapa aku harus tinggal?"?"

"Naya..."

"Aku terus bertanya seperti itu. Kenapa aku harus terus tinggal? Dalam hubungan yang tak berujung, kenapa harus aku yang tinggal?" Naya terus berbicara tanpa mengindahkan Yunev. "Kau yang terus berjalan selama sepuluh tahun ini dan hanya aku yang tinggal. Aku tidak mengerti, Yunev. Kenapa harus aku yang tidak berjalan?"

"Naya..."

"Kau bilang kau tidak ingin pernikahan, jadi untuk apa aku—yang menginginkan hal itu—harus tinggal?"

Tanpa sadar, airmata mengalir di kedua pipi Naya.

Dalam sepuluh tahun hubungan mereka, tidak pernah sekalipun Naya menangis karenanya... atau mungkin ia saja yang tidak tahu.

LUSTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang