Februari.
Hi, this is Vanilla. Hubungi aku jika ada informasi masuk.
Juni.
Hi, this is Vanilla. Hubungi aku jika ada informasi masuk.
Agustus.
Hi, this is Vanilla. Hubungi aku jika ada informasi lain yang masuk.
Desember.
Hi, this is Vanilla. Aku sudah mengirim kordinat. Aku butuh hasilnya secepat mungkin.
Februari.
Hi, this is Vanilla. Mereka mulai mencurigaiku.
Maret.
Hi, this is Vanilla. Seseorang memeriksa profilku.
Juni.
Hi, this is Vanilla. Aku menemukan Sassy.
###
Pagi ini, Spade mengajakku ke suatu tempat. Tidak seperti biasanya karena ajakannya terlalu mendadak. Mobil kami berhenti di lapangan parkir rumah sakit. Spade bilang ia ingin mengunjungi dulu istri teman baiknya yang sedang dalam kondisi kritis. Kuikuti langkah kakinya menuju sebuah ruangan. Begitu ruangan tersebut terbuka, teman Spade yang semula duduk langsung berdiri. Wajahnya nampak muram.
"Hai Spade, terima kasih sudah datang berkunjung," sapa orang tersebut berusaha terdengar bersemangat.
"Aku turut bersedih dengan apa yang terjadi pada istrimu." Spade memeluk tubuh temannya hangat. "Perkenalkan, dia Seulgi. Seulgi, ini King." Kami berdua berjabat tangan. King menyunggingkan senyum ramah, tapi tetap saja terlihat sedih.
Kami mendekat pada kasur dimana istri King terbaring tak berdaya. Alat bantu kesehatan hadir, bahkan sampai dengan monitor perekam denyut jantung beserta tetek bengeknya. Wajahnya pucat, tentu saja. Sepertinya istri King telah mengalami kejadian mengerikan. "Apa yang terjadi pada istrimu jika aku boleh tau?" tanyaku berhati-hati.
King menghela nafas panjang. "Jalanan begitu licin, bus yang ia tumpangi jatuh ke jurang. Ia hanya satu dari berapa penumpang yang selamat..." Cerita itu begitu pilu sampai aku menyesal sudah menanyakan perihal tersebut. Kusentuh pundak King pelan. "I'm so sorry..." lirihku.
"King, sebenarnya aku ingin membicarakan sesuatu padamu." Spade memecah keheningan. "Bagaimana jika kita bicara diluar sebentar?"
Begitulah akhirnya Spade dan King meninggalkanku diruangan bersama istri King yang tak berdaya. Spade bilang hanya sepuluh menit. Lagipula aku tidak ingin ikut campur urusan orang lain. Kupandangi istri King yang bernafas menggunakan alat bantu. Kasihan.
Apa yang akan kulakukan sekarang? Ponselku tertinggal dalam mobil dan sekarang aku tidak memiliki teman mengobrol. Demi membunuh bosan, kuketuk-ketuk ujung kuku pada tangan kursi plastik hingga menimbulkan bunyi. Lumayan untuk menemaniku selain bunyi monitor yang bising. Memandang ke luar jendela, menatap langit yang sangat cerah.
Mengetuk jemari membuatku bosan juga. Sepuluh menit terasa sangat panjang. Kuputuskan untuk berdiri menghadap jendela. Setidaknya aku bisa menonton orang-orang yang berlalu-lalang di sekitaran lapangan parkir. Ambulans yang baru saja tiba maupun pasien dikursi roda yang didorong menuju mobil terparkir.
Aku baru mengalihkan pandangan ketika pintu ruangan kembali terbuka dan muncul Spade bersama King. "Maaf membuatmu menunggu lama," ujar Spade. Aku hanya tersenyum simpul. "Haruskah kita pergi sekarang?" Kali ini aku mengangguk.
Spade beralih pada King dan memberikan satu pelukan hangat lagi. "Kudoakan yang terbaik untuk kalian berdua. Jika terjadi sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungiku," tutur Spade sebelum akhirnya kami meninggalkan ruangan.
"Apa yang kau bicarakan dengan King?" tanyaku iseng begitu mobil kami hendak meluncur.
"Biaya pengobatan. Aku menawarkan bantuan karena kondisi King sedang tidak stabil," jawab Spade santai dan membuatku manggut-manggut.
Aku tidak tahu Spade akan membawaku kemana, tapi kami berjalan jauh keluar dari kota.
"Seulgi," panggil Spade. Aku langsung menoleh padanya. "Terima kasih ya sudah membuatku percaya," lanjutnya lagi. Sontak aku mengeryitkan dahi. "Percaya apa?" tanyaku bingung, akan tetapi Spade hanya memberi senyum manis. "Pokoknya terima kasih."
Kupandang Spade aneh.
###
Juni.
Hi, this is Vanilla. Aku berhasil mengamankan Sassy. Identitasku terbongkar. Mungkin ini panggilan terakhir dariku. Aku hanya ingin bilang, thanks for the great teamwork. Bye.