Seulgi terus menunggu. Sampai jarum jam menunjukkan pukul satu pagi, gadis itu masih setia duduk di kursinya. Ia selalu memastikan dengan cemas pintu yang bisa saja terbuka kapan pun.
Hanya saja, itu tidak pernah terjadi. Sudah tiga hari ia menunggu kepulangan Jimin, namun dia tak pernah muncul. Seulgi memeluk kedua kakinya erat dan kembali menangis. Tubuhnya semakin kurus.
Oh, andai saja ia tidak begitu selfish. Andai saja ia tidak mengatakan hal itu. Mungkin Jimin tidak akan seperti ini. Situasi ini tidak mungkin terjadi. Bagaimana bisa lelaki itu pergi hanya dengan meninggalkan secarik kertas perpisahan untuknya yang berusaha menerima takdir. Ini tidak adil. Jika memang Jimin ingin berpisah dengannya, maka itu harus diucapkan secara langsung. Agar Seulgi bisa mencari penolakan yang tersirat dalam matanya.
"Bodoh," desisnya. Jika saja sifat keras kepalanya bisa dikesampingkan, maka yang seharusnya ia ucapkan pada Jimin adalah kata cinta, bukan kebohongan. Setelah cukup lama hidup bersama, Seulgi mengakui bahwa ia jatuh cinta pada lelaki workaholic itu.
Seusai ia menghentikan tangisannya, yang bisa ia lakukan adalah terbaring lesu. Dengan mata sembab dan kedinginan, Seulgi tertidur diatas sofa seperti malam-malam sebelumnya.
Dan ia tidak tahu bahwa pintu yang selalu ia cemaskan perlahan-lahan terbuka. Lelaki yang ditunggu-tunggu olehnya muncul dengan kemeja kusut.
Jimin menatap sedih Seulgi yang tertidur. "Mengapa kau masih berada disini?" gumamnya. Kemudian mengangkat tubuh kurus itu menuju kamar mereka. Jimin merebahkan tubuh Seulgi diatas tempat tidur, duduk disampingnya dan mengusap rambut gadis itu yang sedikit memendek.
Ia rindu. Ia merindukan gadis itu. Namun semuanya tak bisa ia gapai. Cinta seorang Kang Seulgi tak akan pernah menjadi miliknya. Setidaknya itulah yang selalu dipikirkan oleh Jimin selama masa pernikahan mereka. Melihat seluruh penolakan yang dilakukan gadis itu, membuat Jimin yakin bahwa ia hanya akan terus menyiksa kehidupan Seulgi.
"Maaf..." Jimin mengecup dahi Seulgi.
Namun Seulgi mulai terusik. Kedua matanya perlahan terbuka. "Jimin?" lirihnya. Jimin hanya tersenyum dan beranjak untuk pergi sebelum akhirnya Seulgi menarik ujung kemejanya. "Jangan pergi..."
Jimin menatap tangan Seulgi. "Maaf, Kang, kau harus melepaskanku..."
Tangannya berusaha melepaskan tangan Seulgi, namun Seulgi malah menahan lengannya. "Komohon jangan pergi..."
"Kang, kau harus melepaskan—"
"Aku berbohong! Semua penolakanku adalah kebohongan! Aku mencintaimu, Park Jimin! Sungguh!"
Jimin menatap tak percaya. Perkataan Seulgi terlalu membuncah hatinya. Haruskah ia merasa bahagia? Kemudian hasrat itu muncul kembali. Hasrat yang selalu ia tekan selama ini. Lust.
Sebuah dorongan yang tak nampak memaksa Jimin. Lelaki itu langsung mencium bibir pucat Seulgi tanpa berkata apapun lagi. Bibir yang selalu menjadi fantasinya kini terasa nyata, bersatu dengan bibirnya. Merasakan sesuatu yang berbeda. And slowly, their tongue are playing together. Make a sounds that nobody couldn't hold their self.
"Jim..." lenguh Seulgi diantara ciuman-ciuman yang mereka lakukan. Jimin hanya berdehem dan tak mengubris saat ia lebih memilih untuk menikmati leher jenjang Seulgi.
And then, Jimin taking off his wife clothes one by one. Feeling the desire of himself. Taste all Seulgi's skin. And Seulgi's crown. Makes her to be his queen. Put all his love within a long moans that only Seulgi can do that.
Sweating all their bodies. Marking all their bodies. The moment Jimin has been imagining for a long time.
"Oh God! Park Jimin! Why are you so good!?" racau Seulgi saat mereka benar-benar panas. Seluruh tubuhnya bergetar hebat ketika Jimin dengan nikmatnya menikmati tubuhnya.
"You don't know how I crave for this, Kang Seulgi..." bisik Jimin. Lelaki itu tersenyum dan mencium pipi istrinya.
"We should do this until the sun is up. Your body is driving me crazy, Seulgi-ah..."