a Line Without a Hook

402 26 1
                                    

Author's Pov

Amoretté duduk di ranjangnya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasa bingung, bimbang, dan putus asa memenuhi pikirannya.

Apa yang harus dia lakukan? Apa ia harus dia sambil menunggu semua ini selesai?

Bagaimana jika putranya menjadi korban? Bagaimana jika ia tiada?

Haruskah ia berbalik arah? Haruskah ia menghentikan ini semua?

Amoretté berteriak, memukul tiang ranjang yang ada di sebelahnya. Ia menghela napas kasar, mendadak terisak.

Ia masih ingat kejadian beberapa hari yang lalu. Bagaimana ia memutuskan untuk keluar dari kamar, dan membantu Ron yang nyaris terbunuh. Ia melihat ekspresi setiap orang yang ada. Namun, ekspresi Harry yang paling melekat di ingatannya.

Bagaimana Harry menatapnya dengan ekspresi senang sekaligus sedih. Seolah – olah memintanya untuk turun dan pergi bersamanya.

Tapi, saat itu Amoretté hanya terdiam di tempat. Pikirannya memintanya untuk pergi, namun hatinya meminta untuk tinggal. Logikanya mengatakan untuk melepas kehidupan yang kelam, tapi, hatinya bertanya bagaimana ia hidup tanpa Tom?

Amoretté mengacak – acak rambutnya frustasi, tidak tau harus berbuat apa.

Di saat Amoretté sedang frustasi, Tom lagi – lagi datang melalui jendela. Setelah masuk ke dalam rumah, ia berdiri bersandar di jendela.

"...Kenapa kau kembali?" Tanya Amoretté yang menyadari kehadiran Tom.

"Aku hanya ingin tau keadaanmu." Jawab Tom lalu berjalan menghampiri Amoretté. Ia berdiri di depannya, lalu meraih tangan Amoretté. "Apa...kau baik – baik saja?"

"Menurutmu?" Amoretté mendongak, menatap Tom dengan matanya yang sembab. "Apa aku terlihat baik – baik saja?"

Tom mengangkat kedua pundaknya, "Apa yang kau pikirkan?"

"Hidupku," Amoretté kembali menunduk. "Aku tidak tau harus apa dalam hidupku."

"...Jujur saja, aku tidak akan marah." Tom melepas tangan Amoretté, "Katakan apa yang kau ingin katakan. Mungkin, kau bisa merasa lebih baik."

Amoretté menatap Tom, lalu menghela napas. "Aku ingin pergi dari sini, Tom. Tapi, aku tidak bisa meninggalkanmu."

"Kenapa?" Tanya Tom dengan ekspresi datar. "Kau bisa meninggalkan Sirius, kau bisa meninggalkan anakmu tanpa berpikir dua kali. Kenapa kau tidak bisa meninggalkanku padahal ada banyak kesempatan?"

Amoretté terdiam, air matanya kembali menetes.

"Karena aku mencintaimu, Tom." Ucapnya dengan suara bergetar. "Aku mencintaimu, lebih dari hidupku."

Tom menatap Amoretté yang menangis di depannya. Ingin ia memeluknya, namun, Tom menahan dirinya. Dalam hatinya, ia bertanya – tanya, bagaimana bisa seseorang begitu mencintainya?

Ia kejam, berhati dingin, dan seorang pembunuh. Tapi, wanita yang ada di depannya ini, menangis sejadi – jadinya karena mencintainya. Bahkan setelah ia meninggalkannya dalam waktu yang lama, tanpa kepastian. Dan, saat ia kembali, Amoretté tidak memikirkan kehidupannya. Kehidupan sempurna yang ia tinggalkan begitu saja begitu Tom kembali hadir.

Segala hal wanita itu korbankan, tapi, hatinya tidak bisa merasakan ketulusan Amoretté. Andai dia terlahir dengan rasa empati, mungkin sekarang mereka tidak di sini. Mungkin, mereka menjalankan hidup mereka dengan bahagia setiap harinya.

Tom mengusap wajahnya, menghela napas kasar. Ia kembali menatap Amoretté, lalu mengulurkan tangannya.

"Maaf, Amoretté," Ujarnya pelan. "Maaf, aku tidak pernah membuatmu bahagia."

"Tidak pernah membuatku bahagia?" Amoretté mengangkat kepalanya, tersenyum pada Tom. "Setiap waktu yang kulewati bersamamu, aku selalu merasa bahagia."

Tom tidak bisa lagi menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Ucapan Amoretté benar – benar membuatnya membeku di tempat. Ternyata, begini rasanya dicintai seseorang dengan begitu tulus.

Amoretté yang melihat Tom termenung pun menariknya ke pelukannya. Tom masih tidak bergeming, sampai akhirnya ia memeluk balik Amoretté.

Perlahan, ia merasa bersalah. Merasa, ia bukanlah pria yang baik. Ia tidak bisa menjadi apa yang Amoretté harapkan. Andai ia tidak terbuai dengan kekuatan dan kekuasaan, andai ia tidak haus dengan pengakuan dari orang lain,

Mungkin hidupnya dengan Amoretté akan lebih baik.

Namun, segalanya sudah terlambat. Mau tidak mau, Tom harus menyelesaikan semuanya. Tapi, setidaknya ia sudah merasa sedikit lebih tenang jika pada akhirnya ia harus kembali berhadapan dengan Amoretté.

"Aku bukan apa – apa tanpamu, Tom." Ujar Amoretté lirih. "Aku hanyalah...sebuat garis tanpa kait, yang bergerak kesana – kemari di dalam air."

Mendengar ucapan Amoretté, Tom memeluknya semakin erat. "Aku tidak akan memaksamu lagi, Amoretté. Jika sehabis ini kau ingin tinggal atau pergi, aku tidak peduli. Aku hanya ingin melihatmu bahagia."

"Hey," Amoretté meraih wajah Tom, kembali tersenyum padanya. "Aku hanya akan bahagia bersamamu."

Tom tersenyum kecil, lalu mencium kening wanita itu. Ia ingin mengucapkan, bahwa ia juga mencintainya. Namun, entah kenapa, lidahnya terasa keluh. Oleh karenanya, Tom hanya bisa tersenyum, lalu menemani wanita itu sampai ia terlelap dalam tidurnya.

•••

Pada tengah malam, Amoretté terbangun. Ia melihat sekeliling, Tom sudah tidak ada di sekitarnya.

Ia menghela napas, lalu bangun dari ranjangnya. Ia berjalan menuju pintu, menariknya. Namun, pintu tersebut terkunci. Amoretté mencoba untuk membukanya kembali, namun tetap tidak bisa.

Hingga, akhirnya ia mengerti. Tom sengaja menguncinya, agar ia tidak keluar dan berada di medan perang.

Amoretté tersenyum tipis, lalu kembali ke ranjangnya. Ia duduk terdiam, berharap ketika ia kembali membuka matanya, Tom sudah kembali dan mereka bisa melanjutkan hidup mereka.

Tapi, ada satu hal yang mengganggu pikirannya,

Bagaimana jika Tom tidak kembali?

Amoretté berusaha untuk tidak memikirkan hal itu, namun pertanyaan itu kembali muncul dan mengganggu.

Mendadak, hatinya kembali ragu. Ia bimbang memilih pilihannya untuk tinggal atau pergi. Lebih baik ia mati dengan tenang, atau hidup dengan penuh derita.

Amoretté mengerutu kesal, lalu bangkit dari duduknya. Ia berjalan menghampiri pintu, lalu mengeluarkan tongkatnya.

"Alohomora!"

Line Without a Hook || Tom RiddleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang