Author's Pov
Amoretté nyaris terjatuh begitu ia sampai di kamarnya. Untungnya, ia cepat berpegangan dengan dinding kamarnya yang berada di sebelahnya.
Amoretté menghela napas, lalu mengusap pelipisnya yang basah karena keringat. Ia duduk di ujung ranjang, lalu menundukkan kepalanya.
Ia kembali mengingat apa yang terjadi hari ini. Lebih tepatnya, apa yang ia lakukan. Bagaimana ia bersiap untuk pergi ke Hogwarts dengan sosok berbeda dan tujuan berbeda, bagaimana ia tiba di gedung astronomi dan nyaris terlihat oleh Harry dan Helio, dan bagaimana ia kembali berhadapan dengan Dumbledore.
Dumbledore hanya menatapnya datar, sesekali pria tua itu tersenyum. Bukannya berusaha untuk melarikan diri, beliau malah mengajak dirinya bicara. Menanyai kabarnya, dan bagaimana ia menjalani kehidupannya.
Tentunya, hal tersebut membuat Amoretté goyah. Bagaimana ia bisa membunuh orang sebaik itu?
Dengan tangan gemetar, Amoretté mengeluarkan tongkatnya. Mengarahkannya pada Dumbledore, bersiap untuk membunuhnya. Tapi, lagi – lagi Dumbledore hanya tersenyum dan tidak bergerak sedikitpun dari posisinya.
Ingin sekali Amoretté berbelok. Ia tidak ingin membunuh Dumbledore, atau siapa pun. Mungkin, ini adalah kesempatan yang tepat untuknya kembali ke jalan yang benar. Meninggalkan apa yang seharusnya menjadi masa lalu, dan menjalani kembali kehidupannya yang sekarang.
Namun... bukannya, ia sudah terlambat?
Helio menyaksikan semuanya, dan...Sirius pasti sudah tau tentangnya sekarang.
Kementrian Sihir pasti juga sudah memecatnya. Kecil kesempatan untuk kembali.
Dan, kemungkinan terburuk semua orang yang menyayanginya kini membencinya.
Benar apa yang Tom katakan, terlalu terlambat untuk kembali. Tidak ada lagi kasih sayang, semua berubah menjadi kebencian.
Dengan air mata yang mengalir, Amoretté mengucapkan sebuah mantra. Mantra yang tidak pernah terpikirkan untuk diucapnya.
Sinar hijau muncul dari tongkat Amoretté, mengarah menuju Dumbledore. Tubuh Dumbledore pun terdorong hingga terjatuh dari balkon gedung astronomi yang tinggi.
Amoretté terisak, mengingat apa yang baru saja ia lakukan. Ia baru saja membunuh seseorang. Seseorang yang membantunya selama ini.
Dengan rasa frustasi, Amoretté menangis sejadi – jadinya. Tangisan sedihnya memenuhi kamar yang suram itu. Bahkan, Lucius yang tidak sengaja lewat di depan kamar itu dikejutkan oleh tangisan Amoretté sampai ia buru – buru melangkah menjauh.
Amoretté yang sedang terlarut dalam kesedihannya tidak menyadari bahwa Tom berjalan masuk ke kamarnya. Awalnya, pria itu hanya berdiri dan menonton Amoretté yang menangis. Hingga akhirnya ia berjalan mendekat dan melepas jubahnya. Ia meletakan jubah hitam itu di kedua pundak Amoretté.
Amoretté menoleh, menatap sosok Tom yang ada di sebelahnya.
"...Sudah puas kau menangis?" Tanya Tom dengan sedikit sinis.
Amoretté yang awalnya tidak ingin menangis lagi kembali menangis. Tom pun mengerutkan dahinya bingung, merasa tidak melakukan kesalahan.
Tom berdehem, mencoba untuk memikirkan kata – kata yang tepat untuk menenangkan Amoretté.
"Apa... aku melakukan kesalahan?" Tanyanya lagi namun kali ini dengan sedikit lebih lembut.
Amoretté melirik Tom, "Kau menyadarinya, eh?"
"Tunggu, apa yang kuperbuat?" Sekali lagi, Tom bertanya dengan ekspresi bingung.
Amoretté mengusap air matanya, lalu memukul pundak Tom. "Kau bertanya dengan sinis begitu! Bagaimana bisa aku tidak menangis mendengarnya??"
Tom menatap datar Amoretté. Ia benar – benar tidak mengerti dengan sikap wanita yang ada di depannya tersebut.
Ia menghela napas, lalu menyelipkan beberapa helai rambut Amoretté di telinganya. "Berhentilah menangis. Suaramu terdengar sampai luar."
"...Aku tidak bisa bayangkan jika Draco yang benar – benar melakukannya." Amoretté menarik napas, lalu terkekeh. "Kasihan sekali dia jika harus menanggung perasaan seperti ini."
Tom terdiam, lalu menoleh ke arah lain. "...Aku tidak tau harus berbuat apa terhadapmu. Baru pertama kali aku berhadapan dengan seseorang yang merasa bersalah ketika membunuh orang lain."
"Pertama kali?"
Tom kembali menatap Amoretté, "Bahkan aku sendiri tidak pernah merasa bersalah, Amoretté."
"...Kau monster," Amoretté mengusap wajahnya, "Bisa – bisanya mengatakan hal seperti itu."
Tom mengangkat kedua pundaknya, lalu kembali menghela napas. Ia bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu kamar.
"Kau mau kemana?" Tanya Amoretté.
"Keluar," Jawab Tom datar. "Jika aku terus di sini, sepertinya akan mengganggumu."
"Tidak," Amoretté merapatkan bibirnya sejenak, "Temani aku. Kita tidak perlu berbincang, aku hanya ingin kau menemaniku."
Tom berbalik, mengangguk pelan lalu kembali menghampiri wanita itu. Ia duduk di sebelahnya, lalu meraih pinggangnya. Amoretté terdiam beberapa saat, hingga akhirnya ia bersandar di pundak Tom.
"...Kau tau, kau bisa saja kembali." Ujar Tom. "Tapi, aku tidak bisa menjamin keselamatanmu."
Amoretté tersenyum tipis, "Kembali pun tidak ada gunanya, Tom. Tidak ada yang mau menerima seorang pengkhianat."
"Seorang pengkhianat?"
"Aku bergabung dengan orang – orang yang ingin mengalahkanmu. Tapi, sekarang aku di sini, mendukungmu dari belakang." Amoretté menghela napas, menoleh ke atas untuk menatap Tom. "Tapi, aku tidak menyesalinya."
Tom memiringkan kepalanya, "Bagaimana jika aku mati?"
"Aku akan mati juga." Amoretté kembali tersenyum.
Tom membalas senyum Amoretté, lalu menciumnya singkat.
"Apa kau serius dengan ucapanmu?" Tanya Tom sambil membelai wajah Amoretté.
Amoretté mengangguk. Ia sudah tidak peduli dengan hidupnya. Tidak ada yang bisa ia lakukan jika Tom pergi meninggalkannya.
"Bersumpah lah," Tom mengangkat tangannya dari wajah Amoretté, "Bersumpah lah denganku."
Amoretté mengangkat kepalanya, menatap Tom heran. "Apa?"
"Unbreakable vow," Tom menyodorkan tangannya, meminta Amoretté untuk meraihnya. "Buatlah unbreakable vow denganku."
Amoretté merapatnya bibirnya, menatap tangan Tom ragu. Dengan tangan yang sedikit gemetar dan jantung berdetak kencang, Amoretté meletakan tangannya pada tangan Tom.
Tom pun menarik tangan Amoretté dan meletakan tangannya di lengan Amoretté.Tom meraih tongkatnya yang ada di saku bajunya, lalu mengarahkannya pada lengan mereka berdua yang terkunci. Sebuah cahaya putih melekat di lengan mereka, seperti menjadi rantai agar lengan tersebut tidak terlepas.
Setelah semua persiapan lengkap, Tom menatap Amoretté. "Apakah kau, Amoretté Scamander, bersumpah untuk selalu ada dipihakku?"
Amoretté melirik Tom, mengangguk kecil. "I will."
"Dan, apakah kau juga akan...merelakan nyawamu saat aku mati?" Tanya Tom sekali lagi.
"...I will."
Cahaya putih yang ada di sekitar lengan mereka pun memudar hingga akhirnya menghilang. Tom melepas lengan Amoretté, lalu menggenggam tangannya.
"Terima kasih," Ujarnya lalu diakhiri dengan senyum singkat. Ia mencium tangan Amoretté sebagai tanda terima kasihnya.
Amoretté mengangguk, lalu tersenyum. Walau, dalam hatinya ia merasa hampa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Line Without a Hook || Tom Riddle
Fanfiction"Kami tau ini bukan pilihan yang mudah untukmu Amoretté, tapi kau harus memilih. Egois atau melepaskannya." Amoretté Scamander datang ke Hogwarts pada pertengahan tahun ke empatnya. Beberapa jam setelah kedatangannya berlangsung normal, hingga saat...