Pagi mulai menyingsing. Matahari mulai menunjukkan rupanya. Shraddha merasakan tidurnya terganggu, ketika cahaya matahari merobos tanpa permisi melalui jendela kamarnya yang tidak tertutup. Sesaat ia menggeliatkan tubuhnya, untuk meregangkan sedikit otot-ototnya. Matanya pun beralih menatap kearah ranjang di sampingnya.
Kosong.
Tidak ada Varun di sampingnya. Biasanya pemandangan paginya akan di suguhkan oleh wajah tampan suaminya yang sedang terlelap. Bahkan ranjang di sampingnya masih rapi, seperti tidak tersentuh. Apakah semalam Varun tidak tidur di sampingnya? Pertanyaan itu mulai hinggap di kepalanya.
Memilih untuk tidak ambil pusing, Shraddha bangkit dari tidurnya. Ia memilih untuk melangkahkan kakinya ke kamar mandi, untuk menyegarkan tubuhnya. Sebentar lagi suaminya itu akan berangkat bekerja. Dan ia pun harus segera menyiapkan pakaian untuk suaminya itu. Rutinitasnya seperti biasa.
-
-
-Selang sekitar 15 menitan, dirinya selesai bersiap-siap. Tepat sesaat ia membuka pintu kamarnya, ia melihat tidak jauh dari tempatnya berada Varun berdiri membelakanginya. Prianya itu terlihat sibuk memasang dasinya.
"Varun?" Panggil Shraddha kemudian.
Varun berbalik badan, ia melihat Shraddha berdiri di belakangnya hanya dengan menggunakan jubah mandinya.
"Hm." Balas Varun cuek hanya dengan gumaman.
"Varun aku tidak melihat mu saat aku terbangun. Apa kamu tidak tidur disini semalaman?"
"Aku harus berangkat bekerja." Varun cuek, mengabaikan pertanyaan yang sebelumnya Shraddha ajukan untuknya. Ia pun berbalik badan hendak meninggalkan Shraddha, namun ucapan wanitanya itu membuat langkahnya seketika terhenti.
"Really Varun? Kamu benar-benar mencuekiku dan memarahiku padahal aku tidak melakukan itu semua."
"Shraddha aku tidak ingin berdebat. Dan aku tidak mencueki mu."
"Tatap mataku, dan katakan itu semua tepat di hadapan ku."
Hening.
Satu detik, dua detik, tiga detik..
"Aku tahu kamu tidak berani melakukannya." Ucap Shraddha kemudian.
Varun pun berbalik badan. Memegang kedua lengan Shraddha, dan menatap dengan lekat iris mata amber milik wanitanya itu. Ia pun berkata. " Shraddha's enough."
"Varun aku tidak ingin Illeana ada disini lagi. Sudah cukup dia membawa masalah bagi kita. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman lagi."
"Shraddha, Illeana wanita yang baik, yang bermasalah itu dirimu."
"Varun sebelum Illeana datang, kehidupan kita baik-baik saja. Sejak kedatangan wanita itu, kita lebih sering bertengkar seperti ini."
"Illeana Illeana Illeana CUKUP SHRADDHA! BISAKAH KAMU BERHENTI MENYALAHKAN WANITA MALANG ITU!" Intonasi suara Varun meninggi. Cukup muak mendengar semua ocehan Shraddha tentang Illeana ini Illeana itu.
"Baiklah maafkan aku." Shraddha menunduk, ia mengalah kemudian melepaskan pegangan tangan Varun pada lengannya. Ia memilih mundur beberapa langkah, dan menjaga jaraknya dengan suaminya itu.
"Aku mendiami mu, mencueki mu agar kamu sadar akan kesalahan mu. Tapi ternyata tidak, bukannya malah sadar, kamu malah semakin menjelekkan Illeana yang jelas-jelas tidak bersalah."
Illeana benar-benar hebat, Varun-nya benar-benar berubah karenanya. Entahlah Shraddha tidak tahu, apa yang mereka bicarakan kemarin sampai Varun tidak mempercayainya seperti ini. Tapi yang pasti, dirinya tidak akan diam, ia tidak akan membiarkan wanita pembawa masalah itu berulah kembali.