Prolog

568 61 7
                                    


Darah yang terus keluar dari luka yang ia dapat, terus saja mengucur. Ingin diabaikan seperti dua puluh menit lalu, tapi semakin jadi rasa sakitnya. Ia berhenti sejenak. Menarik napas dan tiba-tiba tubuhnya merosot hingga menyentuh tanah. Pertarungan tadi sungguh membuatnya kewalahan.

"Sial," rutuknya ketika melihat tangan yang berlumuran darah segar.

Suara itu memekak, hampir membuat gendang telinganya pecah. Mengudara. Membuat siapapun yang mendengar, bergidik ngeri dan memilih kabur sejauh mungkin. Sang pria mendongak. Sedikit menepikan tubuh agar tak terlalu terlihat dari pantauan udara. Di atas, berputar benda yang mengeluarkan cahaya terang. Di mana ia tau, setiap sisinya dikelilingi senjata.

Begitu benda tersebut memindai gerak, senjata itu tanpa ampun menghujam dengan timah panas.

Tak ada pilihan lain selain menyingkir masuk ke dalam Hutan Tenggelam. Di mana risikonya sama; mati.

Tapi sang pria masih memiliki banyak nyali. Tak peduli betapa nyawanya demikian berharga, baginya keluar dari area ini adalah tujuannya.

Bertaruh. Pada semesta yang ia rasa hari ini tak memihak, agar dirinya bisa bernapas lega esoknya.

Lalu ...

Damai di Metro akan tercipta.

Seperti tugasnya sebagai Horratio Terakhir.




***

Hai-hai

Selamat datang di kisah fantasy pertama aku. Huuu pas selesai nulis kisahnya Gala, aku tuh sampai enggak percaya ternyata bisa menulis fantasy seperti ini. Hhahahha.
Btw, aku jamin kok ini seru. Bukan fantasy yang ngejelimet gitu kok. 

Jangan lupa di add di library kalian yaaa

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang