DICE. 4

50 20 0
                                    


Gala sampai menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Menggigil ketakutan juga napasnya menderu kuat. Ia masih bisa mengingat jelas, bagaimana kejadian itu berlangsung. Kenapa juga ia harus mendapatkan nasib seperti ini, sih? Rasanya ingin merutuk tapi ia sudah lelah.

Gala yang cukup penasaran akhirnya memberanikan diri menghampiri suara tadi. Juga pendar jingga itu perlahan mulai meredup. Menuju pada titik di mana cahaya jingga itu terlihat tersembunyi di balik salah satu tumpukan kardus bekas. Gala singkirkan perlahan tumpukan itu. Suara cicik tikus juga kecoa yang tiba-tiba berlarian ke sana kemari tak menyurutkan langkah Gala untuk melihatnya secara lebih dekat.

"Dadu?" tanya Gala terperangah akan apa yang ia temukan. Sebuah dadu sebesar kepalan tangannya, berwarna jingga yang tadi bersinar terang. Juga ... bicara? Diangkatnya pelan dadu berwarna hitam dengan bintik berwarna warni di tiap sisinya. Cahaya jingga itu mulai meredup total. Menyisakan Gala yang bolak balik memperhatikannya. Diangkatnya pelan dadu itu. Dibersihkan dari sisa debu juga menggunakan ujung lengan kemeja tuanya, ia usap pelan agar ia bisa jelas melihatnya.

Dadu itu bergerak! Seperti terbelah dengan sendirinya padahal Gala tak berbuat apa-apa. Sama sekali. Ia hanya mengusapnya. Itu pun penuh hati-hati. Lalu ... dadu itu melayang dengan keadaan terbelah. Membuat Gala memekik takut. Mundur segera hingga menimbulkan suara gaduh.

"Tuan, jangan takut."

Semua yang baru saja terjadi tak sebanding dengan keluarnya satu sosok perempuan di antara sinar putih yang menjadi latarnya. Perempuan itu berambut panjang dan sorot matanya dingin sekali. Seperti hologram dari alat-alat canggih di film-film yang pernah Gala tonton.

Gala takut! Sangat.

"Jangan mendekat!" teriak Gala penuh gemetar saat dadu itu melayang lambat ke arahnya. tapi percuma, dadu itu makin mendekat ke arahnya. "Jangan mendekat siapa pun kamu!"

"Tuan."

Yang benar saja! Gala sudah bangkit dengan susah payah. Kakinya gemetaran karena baru pertama kali mengalami kejadian aneh juga mencengangkan ini.

"Tuan, jangan takut. Aku Dice."

Tak peduli mengenai suara serta perkenalannya tadi. Walau stang sepedanya bengkok, velg depan serta rodanya kempis juga jalannya tak bisa ia imbangi dengan benar, Gala tetap menaiki sepedanya. Bergegas pergi dan sepertinya pilihan pulang adalah yang paling baik. Mungkin harinya kali ini sangat sial hingga menimbulkan halusinasi yang luar biasa.

"Tuan, Anda Horratio Terakhir. Anda tak bisa menyalahi takdir Anda."

Gala mempercepat kayuhan sepedanya. Beberapa kali hampi tergelincir sisa sampah plastik yang bertebaran. Belum lagi ia yang terburu-buru itu membuat banyak pengendara lain harus menekan klaksonnya saat jalannya dipotong Gala seenaknya. Gala sendiri masih sangat ketakutan. Tangannya pun makin gemetaran. Pantas saja ia sering dibilang pecundang, penakut, juga gampang sekali direndahkan.

Keberaniannya ada di angka minus sekian. Wajah dan badannya memang mendukung tapi nyalinya tak ada sama sekali. Bahkan Gala mengabaikan banyak orang yang meneriaki namanya begitu ia masuk ke dalam flat. Terutama Mr. Richard. Ia tak peduli. Tremor di tangan serta kakinya masih sangat terasa walau tubuhnya sudah ia gelung selimut.

"Apa itu tadi?"

***

Gala bangun karena lapar. Semalam ia tak mengabarkan Mr. Jian kalau tak bisa ke rumahnya. Semalam sangat menakutkan bagi Gala. Ia berjanji dan bersumpah, tak aka melewati lorong itu lagi walau lebih cepat sampai ke rumah Mr. Jian. Karena teringat sosok pria yang usianya mungkin berselisih sepuluh tahun darinya itu, segera ia raih ponselnya.

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang