DICE. 26

37 14 4
                                    


Suasana tampak mencekam di lantai 45 falcy Building. Maverick tak banyak bicara hanya menatap sekitarnya yang mendadak dipenuhi pria-pria berjubah putih dengan hiasan kepala yang aneh. Tapi itu pertanda kalau mereka semua bukan dari kalangan biasa dari segala penjuru Metro. Mereka semua orang-ornag khusus yang bekerja di bawah naungan Gideon yang Agung. Mengawasi serta mengarahkan apa-apa yang harus para penguasa Metro lakukan.

Kalau melanggar, pasti akan ada hukumannya dan yang menjalankan hukuman itu adalah Horratio. Yang kini keberadaannya tak diketahui oleh mereka semua.

Gideon yang Agung, pria bertubuh tinggi besar, dengan penutup kepala berujung lancip. Bola matanya sebiru laut dengan bentuk rahang tegas. Duduk bersila kaki dengan salah satu tangan menopang kepalanya. Matanya menatap tajam lawan bicaranya; Maverick Osmond.

"Apa yang akan kau bicarakan, Maverick."

Maverick tersenyum kecil. "Apa keperluan Anda hari ini, Tuan. Saya merasa tak ada yang perlu dibicarakan."

Gideon yang Agung mengangguk kecil. Matanya memejam malas tapi setelahnya, tangan satunya ia perintahkan pada salah satu di antara pria berjubah putih itu. "Tunjukkan," katanya pelan.

Tak lama berselang, sebuah proyektor kecil di mana tampilannya yang besar hampir mencakup seluruh ruangan di mana menampilkan bagaimana peristiwa di Attis tersaji. Juga banyak pasukan khusus Metro Selatan yang turun langsung ke sana. Detik demi detik juga suara-suara yang terdengar di sana cukup berisik.

"Bisa kau jelaskan?"

Maverick menelan ludah gugup. Matanya tak lagi menatap Gideon yang Agung di mana penguasa tertinggi Metro itu sengaja datang langsung untuk bertanya. Artinya ... Maverick bisa pastikan kalau penguasa itu tau ada sesuatu yang memang tak biasa terjadi.

Dihelanya napas panjang, penuh perhitungan juga sepertinya akan menjadi kekonyolan tersendiri baginya kelak. Tapi mau dibilang apa, kalau Gideon yang Agung sudah bertanya juga menatapnya dengan pandangan seperti ini. Bukan lagi merasa enggan juga meremehkan tapi Maverick tau, kalau dirinya tengah mendapat perhitungan khusus.

"Dadu," kata Maverick pelan. "Dadu itu muncul, Tuan."

Gideon yang Agung, yang masih menopang wajahnya dengan tangan, matanya menelisik tajam pada pria yang barusan bersuara. "Kau tau," Gideon pun bangun dari duduknya. Berjalan pelan mendekat pada kaca jendela besar yang menampilkan pemandangan Metro Selatan yang biasanya Maverick nikmati. Beberapa pria berjubah putih itu sedikit menyingkir karena langkah tuannya itu. Diikuti oleh Maverick karena sepertinya, Gideon yang Agung mau bicara tanpa diganggu siapa pun. Gerak tangannya mengibas pelan meminta siapa pun di ruangan ini untuk meninggalkan mereka.

"Tau apa, Tuan?" tanya Maverick pelan. "Aku berkata seperti ini bukan sebatas perkataan biasa, Tuan. Tapi sayangnya, aku kehilangan jejak."

Gideon yang Agung terkekeh. Mata birunya tak bergerak dari mana-mana selain menatap bangunan yang kini memenuhi matanya. "Dadu itu milikku. Aku yang paling tau kalau dia bergerak."

Maverick tak mau menyelanya.

"Dan ini sudah belasan tahun berlalu. Keberadaan Xavier juga tak kita ketahui, kan?"

Penguasa Metro Selatan mengangguk menyetujui. Agak lama mereka terdiam tapi kepalanya masing-masing sibuk dengan pemikirannya.

"Tapi kau benar, Mave. Dadu itu bergerak."

Ucapan itu pelan tapi mampu membuat bulu kuduk Maverick berdiri kuat. Kalau dadu itu kembali bergerak artinya ...

"Xavier masih hidup, Tuan?"

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang