DICE. 16

38 13 0
                                    

Dice memberi satu alat untuk mereka berkomunikasi. Biar pun Gala tau mereka bisa berkomunikasi dalam bisik juga suara sangat pelan tapi Dice memilih mempersiapkan hal lain. Gala terkadang ceroboh juga cukup serampangan dalam bertindak.

"Aku hanya perlu menempelnya di sini?" tanya Gala memastikan. Alat itu berbentuk bulatan kecil sekali, tanpa kabel, juga tombolnya pun hanya bisa disentuh ujung kuku Gala. Dice bilang, hanya butuh ditempel di daun telinganya mirip seperti anting. Gala sampai mengernyit tak suka begitu Dice mengatakan cara penggunaannya.

"Iya, Tuan."

"Merepotkan saja," decih Gala sembari merengut. Setelah alat itu terpasang dengan baik, jaket tebal usang yang Gala temukan di lemari milik ibunya, ia gunakan sebagai pelapis. Ia tak memiliki sepatu lain kecuali yang ia gunakan saat bekerja. Jadi kembali ia gunakan sepatu itu untuk pergi ke pusat kota. Menurut penilaiannya, ia sudah cukup pantas untuk melakukan perjalanan cukup jauh kali ini. Jarak rumahnya ke pusat kota berkisar satu setengah jam menggunakan kereta bawah tanah. Transportasi paling cepat.

Saat Dice menjelaskan mengenai kota yang ia tinggali, ia merasa kecil sekali. Kota itu besar juga megah ternyata. Galapikir, hanya jalan utama di depat restoran milik Mr. Kim lah gemerlapnya dunia yang tak bisa ia sentuh. Ruko serta toko yang menjajakan makanan lezat juga aneka minuman serta fashion yang menarik minat Gala tapi sayangnya, keuangannya tak berpihak padanya. Gajinya hanya cukup untuk hidup terbatas. Masih bisa bernapas serta makan teratur saja, Gala sudah sangat bersyukur.

Tapi ternyata ada lagi yang lebih mewah; pusat kota. Gala sebenarnya ragu tapi keinginannya untuk menjelajahi kota hati ini sangat la besar. Ia harus mempersiapkan diri diberi pandangan aneh di sana. Ah, itu bukannya hal yang biasa Gala terima?

Dice hanya memperhatikan Gala yang bercermin agak lama. Penampilan tuannya kali ini cukup rapi. Mungkin karena mau melakukan perjalanan cukup jauh. Tapi saat matanya melirik ke bawah, sepatu yang semalam Gala gunakan masih juga pemuda itu kenakan. "Tuan," panggil Dice sembari mendekat.

"Ya? Ayo, aku sudah siap. Kau bisa masuk ke dalam dadu."

Sebelum Dice melaksanakannya perintahnya, ia mengulurkan satu kartu yang membuat Gala mengerutkan keningnya. "Milik Tuan," katanya.

"Milikku?"

"Benar. Ini sebagian dari milik Tuan Xavier. anda bebas menggunakannya. Anda pasti lebih paham mengenai kartu ini, kan?"

Gala melongo, rahangnya hampir jatuh, matanya membulat tak percaya dengan apa yang ia lihat. Kartu berlapis emas dengan namanya tertera jelas. Ditambah ada satu penanda khusus yang Gala sepertinya tau tanda itu terhubung ke mana. Segera ia keluarkan Code Person yang semalam Dice beri. Di mana dirinya hampir memekik kegirangan karena tak pernah tau, kalau bisa memperolah kartu itu.

Nomor seri yang dikeluarkan pun sana. Setau Gala, Code Person dengan data tabungan yang dimiliki juga beberapa berkas penting itu semua sama. Hanya angka belakangnya saja yang berbeda. Diautentifikasi khusus untuk setiap orang yang berhak memiliki kartu tersebut. Saat Gala menyamakan, keluar informasi berbentuk semacam proyeksi khusus yang muncul dan dapat terbaca jelas olehnya.

Mata Gala membulat sempurna. Mulutnya makin menganga lebar. Semua idetintasnya adalah kebenaran, yang membuatnya melotot tak percaya adalah informasi mengenai keuangannya.

"Itu ... itu ...," tunjuk Gala yang kata-katanya tak bisa dikeluarkan saking terkejutnya.

"Benar. Ini milik Anda."

Gala segera menutup informasi yang ada. mengembalikan kartu itu dengan sedikit paksaan. "Tidak. Tidak. Itu bukan milikku." Gala menggeleng keras. "Cepat masuk. Kita buang-buang waktu." Pemuda itu hanya mengambil Code Person miliknya. memastikan uang di kantung celana lusuhnya cukup untuk biaya pulang pergi ke kota. Jangan sampai ia harus berjalan kaki dan menemui masalah di esok harinya.

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang