DICE. 37

24 10 1
                                    

"Semua makan malam sudah siap, Tuan." Dice berkata sembari sedikit melirik pada Gala yang masih termangu di balkon. Pondok kayu ini cukup nyaman dari dinginnya udara di luar. Salju di seluruh mata memandang memang menjadi pemandangan tersendiri di sini. Area belakang di mana juga tersedia balkon tapi kebanyakan menghadap pada hutan yang juga sama, putih tertutup salju. Pohon-pohon di sekitarnya pun ada yang tertutup, ada yang tidak.

Dice tak menyangka kalau mereka semua bisa tiba di sini dengan selamat. Sungguh. Semua ekspektasi Dice mengenai kemampuan tuannya jauh sekali di atas rata-rata. Sepertinya ucapan seorang Xavier Horratio ini benar adanya. Gala butuh pemicu agar apa yang ada dalam tubuhnya, bisa keluar dengan mudah dan mampu membuatnya seperti mesin tempur.

Dice sendiri melihat bagaimana lihainya sang tuan memainkan pedang. Menepis banyak peluru yang mengarah padanya. Juga beberapa kali pistol yang disembunyikan di balik bootsnya Gala gunakan dengan baik. Konsentrasinya tak gampang terpengaruh seolah semua sudah dalam perhitungannya. Apa yang ia komando semuanya terarah. Seolah Gala ini diciptakan dengan banyak kecerdasan juga ahli perang yang sangat mumpuni.

Padahal Dice sendiri tau bagaimana Gala bertingkah. Sikapnya yang canggung, kikuk, mendekati ceroboh juga sedikit emosional. Tak mungkin semua itu hanya kepura-puraan. Dice tau mana sikap yang pura-pura dan mana yang tidak.

Juga bagaimana Alexander Millian yang datang menghadang serangan yang akan dilancarkan Gideon yang Agung. Dice tak memperhitungkan serangan dari arah Barat. Gempurannya membuat Gala terdiam sejenak juga Dice yang terkejut bukan main. Padahal dadu itu sudah diserahkan. Seperti keinginan Gideon yang Agung. Dice juga sudah memperkirakan hal ini di mana saat kepemilikan berpindah, maka Gideon yang Agung tak mengenal kata ampun bagi orang-orang yang membangkang padanya.

Termasuk memusnahkan Gala juga ibunya ini.

"Kalian pergi lah dengan kuda yang sudah kupersiapkan. Mereka kuda terbaik yang kumiliki." Alexander yang berdiri tepat di depan Bellamie bgeitu sampai dan tiba dari area pertempuran di sisi samping hutan ini. Pertempuran sengit itu masih berlangsung tapi ketika Alexander mengangkat pedangnya, seluruh pasukannya terdiam. Sama halnya seperti semua senjata yang Gala perintahkan untuk memukul mundur pasukan pria berambut perak ini.

"Aku sudah menjalankan keinginanmu, Gideon yang Agung. Anda juga sudah mengatakan kalau membebaskan dua orang ini. Lalu apa lagi? Kenapa kau datangkan tiga pasukan lengkan dengan altileri?" Alexander menatap Gideon tak percaya. Padahal sesuai dengan kesepatakan yang diminta, Alexander yang tunduk pada kekuasaan Gideon yang Agung tak bisa mengelak. Di mana harus menggempur dan menyerang pihak Gala. Tujuannya untuk mengambil dadu. Tak peduli kalau Bellamie bisa saja terluka.

Gideon yang Agung berkata, "Bukan kah ... ini menarik? Siapa tau saja Xavier muncul ketika istrinya terluka? Atau ... saat ia tau kau menyekapnya?"

Tidak. Alexander belum ingin mengakui kekalahannya. Ia butuh Gideon yang Agung untuk mendekat pada Gala. Pemuda itu memiliki kekuatan yang jauh di atas jangkauannya. Ada kengerian tersendiri saat mereka saling berhadapan terutama saat di mansionnya semalam.

Akhirnya ia menyepakati untuk ikut bertarung. Hanya untuk memastkan keadaan Bellamie yang tak bisa ia lacak sejak dibawa pergi. Siapa tau saja, walau untuk terakhir kalinya ia bisa mengucapkan selamat tinggal.

Gideon yang Agung hanya tertawa. Jenis tawa meremehkan dan tak ingin ada orang lain yang turut serta dalam tawa itu. Matanya memicing tak suka mengarah langsung pada Alexander. Lalu menatap sekilas pada Bellamie, wanita pirang itu, yang diposisikan tepat di belakang Alex. Ah ... ternyata ini alasannya.

"Aku ingin pemusnahan, Alex. Harusnya kau tau itu."

"Tapi pasukanku bisa ikut musnah!"

Gideon kembali tertawa. "Sejak kapan kau peduli?" Pria itu berjalan pelan mendekat pada mereka bertiga. Tak ada lagi perlindungan dari dadu di mana sekarang dadu itu sudah mengarah mendekat juga padanya. "Kau terkenal paling kejam di seluruh Metro, Alexander. Kau juga yang membunuh Darrel Xavier Dimitry atau biasa kita kenal dengan nama ... Xavier Horratio. Kehebatan dan kekejamananmu mendunia, Alex. Kau tak bisa pungkiri itu."

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang