DICE. 11

48 14 0
                                    


Gala menggigil kedinginan. Kilas ingatan tadi membuatnya sangat ketakutan. Belum lagi wajah Luke yang melotot seolah Gala ini pencabut nyawanya. Selalu terbayang dalam kepalanya sampai ia tak bisa tidur malam ini. Berulang kali ia minum, pikirnya, agar hal tadi bisa larut seiring dengan air yang melewati tenggorokannya. Tapi ternyata semuanya tak ada gunanya.

Bahkan Gala melewatkan makan malamnya. Ia biarkan Dice berbuat semaunya dengan dapur yang ia rasa, agak berantakan. Kehadiran Dice ternyata memang cukup berguna dan membuat perutnya tak terlalu keroncongan.

Sejak memasuki flat kecil yang Gala tempati, Dice tau, tuannya mengalami kekalutan. Sepanjang jalan ia meracau, tangannya gemetaran, belum lagi ekpsresi wajahnya yang seperti orang linglung. Dice ingin bicara tapi ia urungkan niatnya. Percuma. Gala tak fokus seperti ini, bisa-bisa ia tambah syok mendengar penjelasannya.

Membiarkan Gala masuk ke kamarnya tanpa berganti pakaian. Meliriknya sekilas untuk mengetahui apa yang tuannya lakukan. Ternyata bergelung di bawah selimut tuanya. Tubuh Gala yang cukup tinggi membuat kasur itu terlihat kecil, di mana kakinya pun terjuntai di tepian ranjang. Masih mengenakan sepatu kerjanya yang kotor. Sama sekali tak berniat pemuda itu untuk melepas semuanya dan berganti yang lebih bersih.

Tak butuh waktu lama bagi Dice untuk menyiapkan makan malam. Ia terbiasa harus bekerja cepat; menyiapkan semua kebutuhan Xavier selama berkelana beratur-ratus tahun lamanya. Sampai ia hapal kapan Xabier harus tidur di atas pohon juga kapan ia tinggal dan singgah lama di satu daerah. Sembari terus mempercanggih semua yang ia butuhkan di dalam dadu kecil itu.

"Tuan," panggil Dice pelan. "Aku tau Anda belum tertidur. Perut Anda lapar. Tenaga Anda banyak terkuras. Makan malam sudah aku siapkan."

Gala tak bergerak, mendengar suara Dice saja tiba-tiba ia ingat, bagaimana dirinya mendadak seperti algojo. Apalagi ia tak segan mengarahkan mulut pistol pada Luke. Ya Tuhan! Arahnya pun tepat sekali di mana sekali ia tarik pelatuk, maka Luke hanya tersisa namanya saja.

"Kalau Tuan penasaran kenapa seperti orang lain, aku bisa menjawabnya. Asalkan An—"

"Asalkan apa?" sela Gala cepat. selimutnya ia sibak segera. Rambutnya berantakan. Wajahnya berkeringat. Jantungnya berdebar keras ditambah napasnya yang turun naik tak beraturan. Seperti habis marathon sepanjang hari.

"Asalkan Anda makan malam terlebih dahulu. Survey yang pernah masuk dalam programku mengatakan, jika dalam keadaan lapar, informasi apa pun yang akan disampaikan tidak gampang dicerna. Karena otak memikirkan bagaimana memenuhi kecukupan di dalam tubuhnya."

Gala berdecak pelan. Membuka segera kancing kemejanya. Ia merasa tubuhnya panas sekali. Padahal pendingin di kamarnya sudah menyala di mana biasanya ia kedinginan. Bodohnya Gala! Sejak tadi ia bergelung rapat di dalam selimut! Melempar asal kemeja serta seragam kerjanya. Menyisakan dirinya yang bertelanjang dada. Celana panjangnya masih ia kenakan berikut sepatu kotornya. Gala mengernyit heran. Bagaimana bisa ia lupa kalau masih mengenakan sepatu?

Dice langsung meninggalkan Gala begitu tersadar, kalau Tuannya tengah berganti pakaian. Kenapa juga ia menikmati Gala yang setengah telanjang? Tapi ... Dice seharusnya tak memilik rasa penasaran seperti ini, kan? Segera ia menggeleng, menepis keras pemikiran anehnya barusan. Berdiri tepat di sebelah kursi yang biasa Gala duduki saat menikmati sajian yang ia buat. Tak lama Dice menunggu, Gala keluar dari kamarnya.

Mengenakan kaus tanpa lengan juga celana pendek yang membuat Gala malah terliihat berbeda ketimbang mengenakan seragamnya yang kebesaran itu. Rambutnya berantakan khas orang bangun tidur. Wajah takut Gala sudah tak terlalu kentara. Berganti dengan kerutan penasaran apalagi saat ia benar-benar sudah duduk di kursi biasanya.

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang