DICE. 59

37 14 3
                                    


"Kita bersiap, Tuan," kata Dice sembari melirik Gala yang baru saja memutus sambungan telepon sekadar memastikan kalau orang tuanya sudah bergegas pergi dari Metro Timur. Ia juga cukup khawatir dan agak menyesal kenapa tak menampakkan diri di depan ayahnya. Setidaknya menyapa sejenak sebelum akhirnya berpisah lagi.

"Aku agak khawatir kali ini, Dice." Gala sedikit mengusap tanganna dengan gerak memutar. Dadu yang berpendar jingga itu ada di dekatnya, melayang pelan, seperti menunggu apa perintah dari tuannya.

"Apa yang Anda khawatirkan?"

"Kalah."

Dice mengangguk mengerti. "Kalah dalam pertempuran itu wajar namun melepaskan diri dari kepungan musuh yang kapasitasnya jauh di atas kita itu ... keberuntungan yang sangat hebat."

"Kau menyindirku, Dice?" tanya Gala sembari kembali menekan tuas sebagai alat kemudi di kapal selam ini. Mode siluman sudah ia nyalakan. Saat menemukan Xavier yang seperti tertidur pulas di salah satu tebing menuju dasar jurang, Gala meminta satu kapal selam yang rasanya sangat mustahil tapi ... benda hitam dengan kaca depan terang di mana Dice sudah ada di dalamnya, nyata.

Gala berkali-kali berdecak 'gila' karena tak menyangka semua hal yang ada di dadu ini benar-benar dipersiapkan untuk pertempuran. Entah bagaimana caranya kendaraan besar itu ada di dalam dadu. Atau jangan-jangan kalau Gala meminta dikeluarkan tank berisi penuh amunisi, tak lama tank itu keluar?

Sungguh kegilaan ini kapan terhenti?!

Xavier segera ditempatkan di ruang khusus. Dalam peti yang langsung ditutup Gala dan disiapkan pelontar serta tenaga pendorong dengan GPS untuk tiba dengan cepat di titik pertemuan mereka di Metro Barat. Ia akan mengulur waktu menghadapi Gideon yang Agung, yang kini kapalnya berjarak tak jauh darinya.

Kapal itu besar sekali. Mungkin sekali dikunci sasaran tembaknya, Gala pasti jadi abu. Tapi Gala mana mau menyerah. Di tangannya ada dadu yang lengkap bisa mempersenjatainya. Ia pernah berduel satu lawan satu dengan Gideon yang Agung. Paling tidak, ia tau cara pria itu memainkan senjata. Kali ini, bisa dibilang pertempuran mereka menantang senjata lawan mana yang paling canggih dan adu strategi.

"Aku tidak menyindir Anda, Tuan. Hanya bicara mengenai logika yang kupunya." Dice mengusap udara yang mana tampilannya kini bukan sebatas kaca kapal selamnya lagi. Melainkan titik-titik di mana mereka bisa lewati dari kepungan pasukan Gideon yang Agung, yang mirip sekali seperti sekumpulan ikan. "Ini yang kumaksud."

"Entah kenapa aku merindukan sosok Cathleen sekarang."

Dice menoleh dengan cepatnya. "Kenapa dengan Cathleen? Aku ... Cathleen." Ia berkata dengan penuh penekanan. Matanya tajam menatap Gala yang malah terlihat santai.

"Benar. Tapi kau ketus. Cathleen tidak."

"Kau sangat menyebalkan, Tuan!" Dice melipat tangannya di dada. "Sudah lah. Silakan pikirkan bagaimana caranya kita lolos dari sini tanpa tertangkap dan jangan sampai Anda terluka."

"Ouch! Galaknya kembali. Ketusnya Dice kembali lagi."

"TUAN!"

"Iya-iya. Aku tengah memikirkan cara, Dice." Gala sedikit bergerak ke depan. Diambilnya dadu yang melayang pelan lalu dilemparnya hingga tujuh mata dadu muncul. Seringai puas tercetak di bibir Gala. "Ah, keberuntunganku, Dice."

Dice hanya mendengkus tak suka.

Sementara Gala masih menyeringai. "Sebarkan ranjau air, mode siluman tingkat tinggi, pendorong di sayap kanan dan kiri serta ekor belakang, penglihatan malam diaktifkan, radar dibuat sangat minim, seluruh amunisi otomatis diisi penuh, juga ... kejut listrik." Lalu Gala mendorong tuas itu dengan gerak yang lebih konstan. Membuat gerak kapal itu semakin mendekat pada kapal milik Gideon yang Agung. "Mari ... kita mulai berpesta."

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang