DICE. 13

41 13 3
                                    


Lagi-lagi Gala tidur dalam gelisah setelah sebelumnya makan malam dalam diam. Dice juga tak bertanya apa-apa. Membiarkan Gala dengan pikirannya yang berkecamuk. Dice percaya, akan tiba saat bagi Gala untuk bertanya lebih jauh dan akhirnya menyadari kalau apa yang sudah digariskan untuknya tak bisa ia hindari lagi.

Ditatapnya Gala yang sesekali merintih kesakitan. Belum lagi meracau hal-hal serupa gumanan. Dice mendekat. Dadunya sudah kembali terkalung di lehernya. Tak ada warna seperti sebelumnya. Hanya terlihat seperti bandul kalung berbentuk dadu biasa. Agak lama Dice menatap Gala yagn tengah terusik di mimpinya. Sesekali Gala meminta tolong dengan suara sangat pelan.

"Maafkan aku, Tuan," katanya sebelum benar-benar ia sentuh kening majikannya. Di mana tangan hologram miliknya berpendar biru terang. "Anda memang tak bisa melepaskan apalagi menolak. Metro butuh Anda."

Dalam satu waktu, entah di mana Gala tak tau juga sangat asing wilayah ini ia tangkap matanya. Sepanjang perjalanan menyusuri area hutan yang cukup berbahaya di mana juga ia dengar serta lihat banyak hewan liar silih berganti melintas juga mengamatinya dari kejauhan. Gala berjalan tanpa mengenal takut. Menggunakan pedang cukup panjang, ia membuka jalan. Dice berjalan di belakangnya dengan warna warni yang bersinar kuat.

"Semuanya sudah kau siapkan, Dice?"

"Sudah, Tuan. Seperti permintaan Anda."

Gala mengangguk pelan. "Dua hari lagi kita sampai perbatasan. Metro Utara ketat sekali penjagaannya. Jika perkiraanku benar, Ibu ada di pusat kota." Ia kembali memangkas satu ranting sebelum akhirnya berhenti. Menoleh ke belakang dan menatap jauh di mana langkahnya sudah jauh sekali dari tempatnya tinggal. Tak terlihat lagi pusat kota yang kemarin ia singgahi dan nikmati. Walau hanya sepintas mata memandang, ia tetap bersyukur masih bisa memandang Metro Selatan di malam hari sebelum memulai perjalanan panjangnya.

"Ada pergerakan, Tuan."

Gala mengalihkan matanya pada Dice yang segera saja menampilkan gambaran besar mengenai keberadaan ibunya. Sosok wanita yang menjadi fokus utamanya berjalan kini, berjalan dikawal beberapa pria tegap berseragam. Di tangan mereka, terselip pistol yang siap digunakan jika ada bahaya yang mengancam. Ibunya berjalan lurus tanpa mau menoleh pada siapa pun yang ada di sekitarnya. Masuk ke dalam mobil hitam dan meluncur cepat bebas hambatan.

"Ikuti terus, Dice."

Dia mengangguk cepat naun layar tadi langsung memburam seperti kehilangan signal. "Maaf, Tuan. Aksesku baru saja diblokir," sesalnya. Ia mencoba berulang kali tapi gagal.

"Tak masalah. Jalan kita sudah benar. Aku bisa merasakan itu."

Lalu ... semuanya berganti dengan cepat. Di mana Gala tengah menatap gedung tinggi dengan arsitektur mewah serta terlihat tingginya tingkat pengamanan di sana. Ia tengah meneliti dari balik kacamata yang dikenakan. Salah satu alat canggih yang ada di dalam kotak dadu di mana ia bisa mengetahui pertahanan di dalam satu gedung. Di mana gedung ini, membuatnya meringis kecil.

"Dalam dataku, akses yang sejak kemarin memblokir informasi berpusat di sini, Tuan. Aku bisa melumpuhkannya asal Tuan menemukan satu sentral utama."

"Di lantai 30, Dice. Benar, kan?"

Dice mengangguk cepat.

"Malam ini kita bekerja."

Rasanya Gala seperti diseret entah oleh siapa. Mengakibatkan tubuhnya kesakitan. Ia tengah meringkuk tak berdaya. Tangannya ia rasa patah atau malah sudah lepas dari tulangnya. Belum lagi kakinya yang mengalami luka robek cukup dalam. Pedang yang kemarin ia gunakan untuk membuka jalan di hutan, sudah berlumuran entah oleh darah siapa.

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang