DICE. 67

18 11 1
                                    


Freya bergeliat sedikit. Cahaya senja terlihat indah sekali dari jendela besar milik Gideon. Pemandangan yang sangat luar biasa memang menjadi sunguhan yang sangat langka di sini. Dan ia beruntung bisa menikmati dengan bebasnya. Saat melirik ke arah pria besar yang kini terlelap itu, ia mendesah pelan. Disingkirkannya perlahan tangan kekar itu agar ia bisa bangun dari sofa dan mungkin bersiap meninggalkan ruangan ini.

Ada rasa nyeri yang cukup menganggu yang ia rasakan di sela pahanya. Membuat geraknya sedikit melambat. Puas yang Gideon maksudkan selalu dengan caranya. Yang kasar, mengintidasi, tak memberi jeda, tak ada kelembutan, juga seenaknya. Namun Freya tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan sekadar mengeluh pun ia tak mampu. Betapa kuat kukungan Gideon terhadap hidupnya. Walau di satu sisi, ia bisa merasakan betapa Gideon tak ingin dirinya kembali terluka.

Kembali ia mendesah pelan. Dibenahi jubah mandi yang sengaja ia ambil dari salah satu lemari besar yang sedikit tersembunyi di antara lemari-lemari besar milik Gideon. Satu lemari yang mana ukirannya terlihat berbeda dari yang lainnya. Pertanda kalau lemari itu bukan milik Gideon tapi sengaja di tempatkan di sana untuk sebuah keperluan. Pakaian ganti untuk Freya. Apa pun ada di sana. Lengkap. Namun ia belum mau memilih salah satu dari koleksi pakaian terbaiknya.

Ia memilih duduk di salah satu kursi yang paling dekat dengan jendela besar itu. Memandangi langit senja yang sewarna dengan matanya. Segelas wine sudah ada di genggamannya. Ia teguk pelan. Meresapi rasanya. Kembali mengingat perkataan Gideon yang membahas Xavier. Setelah sekian lama?

Matanya memejam pelan. Teringat bagaimana dirinya dengan Xavier dulu. Yang tak ada kata manis di antara mereka namun Freya terus berusaha mengejarnya. Ia meyakini kalau usahanya pasti membuahkan hasil. Tak peduli berapa ratus tahun waktunya untuk menunggu. Ia tak peduli. Namun ...

"Aku punya berita bagus untukmu, Freya." Gideon datang menghampirinya. Di saat ia tengah mengulam satu kain yang akan ia buat sebuah sapu tangan yang mungkin saja berguna untuk orang yang inisialnya terukir di sana.

"Berita bagus?" Freya mengerjap pelan. Dihentikan kegiatannya itu dengan segera. Meminta seseorang untuk meyingkirkan pekerjaannya dengan segera. Ia tak ingin Gideon melihat apa yang tengah ia kerjakan namun rupanya, ia terlambat. Mata Gideon awas sekali menatap pekerjaan yang disingkirkan oleh pelayan Freya. "Kau bawa berita apa?" tanya Freya dengan satu deham kecil.

Di mana Gideon mendengkus pelan. "Sepertinya kau sudahi saja usahamu menarik perhatian Xavier."

"DI sini sering kali kukatakan, ini perasaanku. Tak ada sangkut pautnya denganmu." Freya masih berusaha setenang mungkin. Seperti biasa karena ia sangat memegang teguh ajaran dari para leluhurnya. Sikap santun seorang wanita terletak pada nada bicaranya. Juga air mukanya yang harus selalu tenang.

"Lalu ... bagaimana kalau ini?" Gideon mengulurkan sebuah map di mana Freya sedikit menaruh curiga di sana.

"Apa ini?"

"Buka lah."

Perlahan Freya membukanya walau matanya masih sesekali menatap Gideon dengan curiga. Begitu ia angkat berkas yang sepertinya hasil foto atau lukisan? Entah lah. Saat Freya menatap keseluruhan potret tersebut, matanya terbeliak kaget. Berkaca-kaca dengan cepatnya. Ia pun segera membuka lembaran lainnya. Yang mana makin lama air matanya mengucur deras. "Tak mungkin," desisnya tak percaya.

"Atau kau ingin melihatnya langsung?"

"Kau sengaja?" pekik Freya kesal. "Kau membuntutinya?"

"Tidak. Aku tak bisa melacaknya tapi kamera pengawas Metro Selata menangkap sosoknya yang tengah bersama wanita itu. Setelahnya itu, aku tak bisa lagi mengikutinya."

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang