DICE. 97

31 14 4
                                    


Napas Gala terengah di mana ia berdiri agak kesulitan setelah tendangan yang diarahkan Gideon tepat mengenai lambungnya. Punggungnya pun menghantam salah satu bebatuan yang cukup membuatnya merasa ngilu. Juga tangannya yang terkena ujung tombak saat ia menghadang ketika Gideon melucuti pedangnya. Luka itu cukup menganga lebar juga karena kondisi gurun yang makin terik juga berpasir, membuat luka itu seperti membakar lengannya dengan kuat. Belum lagi beberapa bagian tubuhnya yang mulai merasa nyeri di beberapa titik.

Tak ubahnya seperti keadaan Gala, Gideon pun terengah sembari meremas ujung jubahnya. Dalam sekali tarik, jubah itu terbuka dan membuatnya hanya mengenakan kemeja putih yang sudah tak terlihat bersih. Banyak cipratan darah di sana juga pasir yang menempel di sana. Juga beberapa sobekan jelas terlihat dan ia dapatkan karena bocah itu sungguh tak pernah main-main melesakkan senjata ke arahnya. Ia belum pernah melihat pedang itu tapi sepertinya cukup berbahaya karena setiap kali Gideon mencoba mematahkan serangan Gala, justeru ia sedikit terhuyung seperti pedang itu dialiri listrik.

Sama seperti cambuknya yang sudah dibuat tak lagi bisa berfungsi oleh Gala. Anak ini benar-benar tak bisa diremehkan begitu saja. Tak ubahnya seperti sang ayah yang cukup membuatnya kesal, ternyata anaknya pun sama. Bahkan lebih menyebalkan dan terlihat sekali kalau Gala ini memiliki sikap yang sombong menurutnya.

"Kau masih sanggup berdiri, Gala?" Gideon berdecih kuat. Ia meludah kuat di mana sebenarnya ada perih yang cukup mengganggunya. Rahangnya ia gerakkan pelan di mana ada nyeri yang cukup hebat di sana. Ia ingat, sebelum menendang bocah itu sampai tersungkur, satu bogem mentah memang sudah menyapanya terlebih dahulu. Sial sekali. Padahal ia sudah memperhitungkan kalau tangan Gala yang sibuk dengan dua pedangnya, tak akan bisa melesakkan tinju ke mana-mana.

Gideon lupa kalau Gala ternyata taktis sekali dalam bergerak. Kendati demikian, pukulan yang wajahnya terima bisa cepat ia balas dan ia cukup puas dengan hasilnya. Gala masih terlihat meringis dan mencoba bangkit. Kondisi mereka hampir sama. Banyak luka juga goresan di mana darah mulai mengering tapi belum ada satu pun yang berniat untuk menyudahi pertarungan ini.

"Bukan kah pertanyaan itu harusnya ditujukan untukmu, Gideon?" Gala menyeringai dengan sorot mata yang kembali tajam. Pedang yang semula ia jadikan tumpuan berdiri, ia acungkan dengan lurus dan sedikit rendah. Walau kakinya gemetar menahan sakit karena beberapa kali tombak Gideon menyasar ke sana dan memberi pukulan dengan telaknya, tapi Gala tetap tak menggubris terlalu banyak.

Ia tak boleh kalah.

Dadu di dekatnya masih melayang pelan di mana Gala tak banyak melakukan permintaan apalagi sampai mengeluarkan senjata dari sana. Ia yakin, Gideon akan menyadari begitu dadu itu tak seperti biasanya. Bahkan Gala mulai khawatir kalau-kalau Gideon menyadari dadunya tak lagi sama. Walau cukup berbeda dari versi yang Gala tau, dadu tetap lah dadu. Di mana kalau sampai ia berada di tangan yang salah, maka kehancuran akan tercipta di dekatnya. Maka Gala tetap mempertahankan dirinya agar dadu tetap di dekatnya. Tak masalah kalau sampai dirinya terluka parah.

Asal ... Gideon bisa diringkus dengan cepat tapi sepertinya kekuatan mereka sama.

Gala harus segera mencari akal bagaimana melumpuhkan Gideon. "Dice," panggilnya pelan. Sejak ia memerintahkan Dice menghubungi ayahnya, Gala memang memutuskan untuk fokus melawan Gideon saja. "Pindai kekuatan Gideon dan titik lemahnya. Sepertinya semua seranganku bisa dimentahkan begitu saja."

Dice terkekeh pelan. "Sebenarnya titik kelemahan dari Gideon adalah kakinya namun sepertinya pria itu mengenakan pelapis di mana Anda sukar untuk menembusnya."

"Selain itu?" Gala berdecak pelan di mana matanya masih terfokus pada Gideon. Ia bisa melihat Gideon melangkah mendekat dengan tertatih tapi matanya menghunus tajam seolah siap sekali menerkam Gala. Tak peduli keadaannya seperti apa pun sama seperti Gala yang juga mulai bergerak. Ia tak peduli kalau semua bagian tubuhnya hampir copot dari engselnya. Ia paksa kembali untuk bergerak.

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang