DICE. 89

43 15 2
                                    


Di tenda lain, Gala sepertinya melakukan hal yang sama seperti ayahnya. Mematut dengan pandangan agak ragu dengan bayangnya yang ada di cermin. Matanya tak pernah ia lepaskan dari pengamatan kalung yang ada di lehernya. Dadu itu serupa dengan milik sang ayah. Duplikasi yang sangat sempurna entah bagaimana caranya sang ayah melakukan sesuatu yang ia anggap mustahil tapi kenyataannya, benda itu ada di dekatnya. Berpendar sewarna dengan yang pernah mendiami lehernya beberapa waktu belakangan.

Waktu di mana dirinya seperti orang lain. Yang berpacu dengan banyak hal dan melewati serta menjalankan banyak kejutan yang tak pernah ia sangka dalam hidupnya. Semua hal menakjubkan itu ia ingat dan rekam tersendiri dalam benaknya. Betapa sungguh, walau ada rasa khawatir yang sangat tinggi tapi, Gala percaya kalau ia pasti baik-baik saja. Bukan karena dadu ini yang akan melindunginya tapi ia akan berjuang untuk terus memberi perlindungan baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

Hari ke hari ia sadari kalau dadu ini selain berbahaya, juga merupakan media yang bisa membuat orang lain bergantung padanya. Apa yang tak bisa dadu lakukan? Bahkan pikiran Gala mengenai sesuatu yang mustahil, dadu itu bisa mewujudkannya. Tak perlu ia ambil contoh terlalu jauh. Imitasi dadu ini pun nyata ia perhatikan dan genggam.

"Kuharapa apa yang akan kami lakukan ini membuahkan hasil yang menguntungkan di pihak kami." Gala berkata dengan pelannya. Disambarnya jaket hitam yang kini tak pernah lepas dari penampilannya. Bukan tanpa sebab, di balik jaketnya itu tersimpan banyak sekali senjata juga ia ambil pedang kembar yang tergantung di dekat cermin. Ia letakkan di balik punggungnya. Dirasa cukup ia pun bergegas keluar dari tenda tersebut di manan nantinya, ia hanya tinggal menekan salah satu tombol yang ada di luar tenda. Dan BOOM! Tenda tersebut kembali ke ukuran kecil di mana tak ada yang menyangka kalau di dalamnya segala fasilitas tersedia dengan lengkapnya.

Akan tetapi langkahnya terhenti karena Alex mendadak masuk. "Aku ... baru akan memintai izinmu untuk masuk, Gala. Kau terganggu?"

"Ah, tidak. Aku baru saja akan keluar tenda bergabung bersama yang lainnya."

Alex mengangguk pelan. "Aku juga tak akan lama bicara denganmu."

Mata Gala memindai pelan penampilan pria berambut putih ini. Secara garis besar, tubuhnya jauh berbeda dengan dirinya. Mungkin dalam sekali hantam, Gala bisa rubuh dan tak sadarkan diri mengingat otot-otot yang tercetak di balik jubah putih kebesarannya itu sangat lah mampu membuat lawannya gentar. Tapi tidak. Gala tak pernah benar-benar berduel dengan seorang Alexander Millian. Belum lagi sorot matanya yang mengesankan kalau pria yang ada di depannya ini cukup menakutkan. Ia tak perlu membuktikan karena sikap kaki tangannya, Theo, sudah mengatakan hal itu dari gestur tubuhnya.

"Jadi ... apa yang akan kau bicarakan, Tuan Alex?"

"Hanya ingin berterima kasih dengan sangat tulus karena kau beberapa kali melindungiku."

Gala hanya merespon dengan anggukan.

"Bagiku ... itu sangat berarti, Gala."

Mendengar hal itu membuat kening Gala berkerut. Tangannya ia lipat di dada dengan mata yang terus terarah pada Alex yang kini balas menatap matanya. Tak ada lagi keangkuhan serta arogansi di sana. Berbeda dengan saat pertama kali mereka bertemu di mana Gala ingat sekali, pedang besar milik Alex ia buat patah. Entah apa yang membuatnya sekuat itu tapi rasanya ia memang perlu mematahkan pedang di mana sang pemilik dengan seenaknya menyekap sang ibu. Namun seiring berjalannya waktu, pada akhirnya Gala menyadari hubungan mereka bukan sebatas antara korban penyekapan atau sang pelaku penyekapan.

"Hidup dalam usia yang lama di mana orang lain tak pernah sampai menyentuh hatiku seperti apa yang kau lakukan, cukup membuatku banyak berpikir." Alex terkekeh. Matanya menerawang ke langit-langit tenda di mana mulai terlihat cahaya matahari yang mulai menghujani tempat mereka bernaung. "Apa keberadaanku ada harganya?"

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang