DICE. 57

35 14 3
                                    


Badai semalam cukup membuat berantakan pekarangan rumahnya. Bellamie menghela napas kuat-kuat. Sekop untuk membersihkan jalan dari tumpukan salju juga ranting-ranting yang patah sudah siap di tangannya. Udara pagi ini cerah sekali. Mentari yang bersinar cukup membuat kehangatan tersendiri baginya. Walau hanya sedikit tapi setidaknya, tak terlalu dingin seperti hari-hari sebelumnya.

Jejeran mobil hitam yang mana membua Bellamie ingat saat pertama kali ia dipaksa masuk ke dalamnya, masih ada di sana. Tertutup salju di bagian depan serta atapnya. Kalau saja semalam ia tak menyuruh mereka semua masuk, akan jadi apa di dalam mobil? Mayat beku? Yang benar saja. Bellamie sudah sangat menghindari pertikaian juga masalah baru di hidupnya. Ia sudah cukup pusing dengan semua kenyataan yang ada sekarang.

Ia hanya ingin hidup damai bersama anaknya. Bellamie juga tak tau apa yang kini ia rasa mengenai Xavier. Mungkin keinginan terdalamnya, kalau pun suaminya sudah meninggal ... benar, ia ingin mengunjungi makamnya. Itu saja.

Dan kenapa juga sang pembunuh suaminya ia perbolehkan masuk ke dalam rumahnya? Bukan kah seharusnya ia mengusirnya? Tak peduli akan jadi apa nasibnya di tengah badai salju? Malam ini mereka cukup beruntung tak ada Gala di rumah. Kalau ada? Bellamie tak terbayang kalau terjadi baku tembak di sini. Apa lagi ia sendiri cukup bisa memahami walau Gala mengatakan ia membenci ayahnya, tetap saja ekspresi Gala tak bisa dibohongi. Apa lagi anaknya itu tau, Alex pernah menyekapnya.

Walau ...

Bellamie menggeleng cepat. Untuk apa memikirkan hal ini? Lebih baik ia cepat membersihkan pekarangan serta jalan yang ada di dekat gerbang kecil di depannya.

"Apa yang ingin kau lakukan, Bella?" tanya Alex begitu keluar dari pintu pondok. Semalam walau terpaksa, terlihat dari wajah Bellamie yang tak nyaman juga kesal saat menyajikan makan malam, Alex berhasil membuatnya duduk di depannya. Walau wajah itu menampilkan ekspresi jengkel, sorot matanya memerah marah, belum lagi kata-katanya terlalu singkat untuk diucapkan. Hanya sebatas 'ya' juga 'tidak'.

Tak apa. Yang paling penting, Alex bisa bicara banyak hal dengan Bellamie. Ia malah berharap obrolannya itu tak didengar para pengawalnya. Karena sungguh, rumah yang ditempati Bellamie ini kecil. Walau nyaman tapi tetap saja. Apa ia harus memarahi Seth karena memberi tempat tinggal untuk Bellamie seperti ini?

Tapi ...

"Kau tau, Alex?" Bellamie meletakkan alat makannya dengan pelan. Ia memang tak terlalu berselera makan tapi pria berambut perak ini memaksanya untuk makan. Masih dengan kata-kata penuh intimidasi namun diiring dengan tatapan nelangsa, membuat Bellamie menyerah. Sup jagung yang hanya setengah porsi ia ambil, sudah ia habiskan. Cukup banyak memang bisa membuatnya menghangat.

Mendengar suara Bellamie yang tanpa ragu memanggilnya hanya dengan namanya, membuat Alex tau, kesalahannya besar.

"Aku seperti orang bodoh yang menuruti semua keinginanmu tanpa ingin melawan sama sekali. Harapanku sepertinya sudah tak ada kala menginjakkan kaki di mansion mewah milikmu. Aku menyerah mencari orang yang memang sejak awal ingin kucari. Belasan tahun aku berusaha sekali untuk bertemu dengannya namun sama sekali tak ada hasil. Malah membawaku dalam satu penyesalan besar." Bellamie mendorong pelan mangkuk tadi, memilih menatap Alex yang tak juga mengalihkan matanya ke mana-mana.

"Aku meninggalkan putraku satu-satunya. Aku simpan semua penyesalanku di hati karena aku merasa, dengan semua yang kau lakukan di mansion itu untukku, aku tak memiliki jalan keluar. Hidup bebasku hanya di batas balkon. Sisanya? Aku yakin kau tak akan ragu melemparku ke sekawanan anjing penjaga."

"Astaga!" Alex memekik pelan. "Apa aku setega itu padamu, Bella?"

Wanita berambut pirang itu mengedikkan bahu. "Aku tak tau karena aku tak pernah mencoba membantah semua keinginan Anda, kan?"

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang