DICE. 9

49 14 5
                                    

Semalaman Gala tak bisa tidur nyenyak. Otaknya terus saja terputar pembicaraannya dengan Dice. Terutama sosok ayahnya. Sepanjang yang ia ingan mengenai sosok Xavier, pria itu sosok yang lembut juga banyak senyum. Berbanding terbalik dengan apa yang Dice katakan. Sampai saat ia suarakan keberatannya, Dice malah tersenyum kaku. Lalu ...

Entah apa yang Dice perbuat tapi di depan Gala seperti sebuah layar cukup besar di mana ia kenal sosok yang ada di sana. Xavier. berjalan sedikit waspada dengan senjata mirip tembakan besar yang ia sampirkan di bahunya. Matanya tajam menatap sekeliling, tubuhnya bergerak lincah menerabas pohon serta tumbuhan di sekitarnya.

"Ini Tuan Xavier saat memburu pemilik toko illegal di Metro Timur, Tuan. Saat itu beliau masih belum bertemu Nyonya Bellamie."

"Apa dia tak pernah tua?"

"Maksud Anda, Tuan?" Dice kebingungan karena pertanyaan yang diluncurkan Gala.

Sementara Gala mengedikan bahu, "Ya ... kau sendiri bilang, usia Xavier kira-kira 800 tahun. Wajahnya sama sekali tak terlihat tua. Sama seperti aku mengingatnya sebelum ia pergi meninggalkanku begitu saja." Ada geram juga kesal yang tak bisa Gala tutupi dari suaranya. Tangannya bahkan tanpa sadar terkepal kuat. Makanan yang tadinya ingin ia habiskan karena merasa sayang juga menghargai Dice yang sudah bersusah payah memasak untuknya, urung ia lakukan.

Pembicaraan seputar Xavier memang membuat darahnya mendidih. Seenaknya saja meninggalkan Gala bersama ibunya. Gala tau, ibunya sering menangis jika malam tiba. Memeluk potret usang yang Gala sembunyikan di bawah ranjangnya sekarang.

"Mengenai itu," Dice sedikit memutar tangannya. Membuat rekaman tadi menghilang begitu saja. cahaya biru temaram yang terpancara darinya masih terlihat jelas. Lampu di ruang makan Gala memang sudah menggenaskan. Seolah hidupnya tinggal menungg waktu terputus dari sambungan yang ada di dalamnya. Kadang malah, mati tiba-tiba membuat suasana di sana mendadak gelap. "Seorang Horratio memang dianugerahi hal seperti itu, Tuan. Pertumbuhan fisiknya, tingkat kedewasaannya berhenti tepat di usia tiga puluh lima tahun. Lalu ia akan berumur panjang kecuali dirinya yang merelakan kematiannya sendiri."

Gala terbeliak. "Kau ... bercanda, kan?"

"Apa aku ini terlihat tengah bercanda, Tuan?"

"Mana ada seperti itu?"

"Ada." Dice menarik kursi yang ada di dekat Gala. Duduk perlahan dengan sorot mata tajam. "Ayah Anda, sudah hidup selama itu."

"Bagaimana denganku?"

Dice menggeleng pelan. "Aku tak tau."

"Katanya kau alat canggih buatan Xavier. dia tidak memblokir kamu untuk mengetahui aku, kan?"

Cahaya yang Dice pancarkan makin meredup. Gelengan ia berikan sebagai jawaban pertanyaan Gala tadi.

Mengetahui pendar biru dari Dice yang tak seteterang sebelumnya, Gala jadi curiga. "Kau lelah, Dice?" Ia teringat kalau seharian ini sebenarnya banyak dibantu Dice walau sering menyuruhnya masuk kembali ke dalam kotak.

"Sedikit."

"Masuk lah dan terima kasih makan malamnya."

tubuh Dice sedikit kaku mendengar ucapan Gala. Selama mengikuti ke mana pun Xavier berkelana hingga seringnya ia ada di rumah Bellamie kala itu, sangat jarang seorang Xavier Horratio mengucapkan terima kasih. Tapi bersama Gala, ucapan itu sering ia dengar dengan tulusnya. Hal itu membuat Dice menarik bibirnya yang kaku. "Selamat malam Tuan Gala."

Sekelebatan angin ringan juga agak lembut membelai wakah Gala yang masih setia duduk di meja dapur. Pendar biru itu menghilang seiring dengan tak adanya Dice di sampingnya. Suasana dapur Gala kembali seperti yang sudah-sudah kecuali meja makan yang penuh makanan. Juga di beberapa sudut yang agak rapi. Ah ... rasanya menyenagkan kalau memiliki ruangan yang nyaman juga sedikit bersih. Tapi Gala bisa apa? Kalau hari liburnya ia gunakan untuk mencari uang lebih? Kalau tidak, bisa-bisa Nyonya Milly makin jadi bicaranya.

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang