Dice. 22

28 12 2
                                    


Bellamie berjalan dua langkah di belakang Alexander. Tubuh tegap menjulang itu berjalan dengan angkah konstan dengan mata waspada pada sekitar. Di tangannya terdapat busur yang siap dilesatkan kapan saja ia butuhkan. Rambut keperakan milik Alexander makin terlihat berkilauan seperti ditaburi berlian. Terik matahari siang ini cukup menyengat tapi karena perjalanan mereka memilih jalur tepian hutan yang rindang.

Hari ini Alexander mengajak wanita yang selama ini hanya berdiam, berkegiatan, serta dijadikan tawanannya tanpa disadari oleh wanita itu. Pikir Bellamie, ia ada di mansion Alexander Millian karena kesalahannya mencoba kabur. Biar saja seperti itu, Alex tak peduli. Baginya yang paling penting, saat pulang dari melakukan perjalanan ke luar kota atau pun di sela kesibukannya menguasai dua kehidupan di Metro Utara, ada Bellamie yang menyambutnya.

Ada beberapa hal yang mulai berubah dari Bellamie padanya. Alex merasa, wanita itu mulai mau banyak bicara termasuk menanyaninya beberapa bagian yang disukai termasuk makanan.

"Apa kau bisa memasak?" tanya Alexander suatu kali. Mereka duduk di balkon yang disulap sebagai meja makan karena begitu banyak hidangan yang dibuatkan koki mansion untuk mereka berdua.

"Bisa, Tuan. Menu favorit andalanku ayam panggang."

Alex terkekeh, disapunya pelan sudut bibir wanita berkulit putih itu karena berlumuran saus. "Kau ini berusia beberapa tahun di atasku, Bella. Tapi setiap kali melihat caramu makan, aku merasa seperti mengasuh bayi."

Wanita itu mengerjap pelan. Sudut bibirnya tadi tanpa sadar ia sentuh. Matanya tak dialihkan ke mana-mana selain pada Alex yang tampak santai menyantap sajiannya. Merasa diperhatikan, Alex hanya menyeringai. "Makan yang banyak, Bella. Pelayan bilang akhir-akhir ini kau hanya menyantap buah."

"Entah kenapa rasanya menyegarkan makan buah yang baru saja dipetik dari kebun belakang."

"Asal kau tetap perhatikan makanmu, Bella. Aku tak ingin meniduri tulang berdaging tipis."

Mengingat hal itu saja, bagi Alex sangat berharga. Apalagi Bellamie tak banyak membantah lagi, senyumnya mulai sering hadir, rona wajahnya makin bersemu merah muda, juga ... semakin cantik dan memikat hatinya. Alex menggeleng segera atas pemikiran itu. Tak mungkin ia terpikat. Benar. Ia tak mungkin terpikat pada wanita yang seharusnya tetap ia jadikan tawanan sampai Xavier kembali. Akan ia jadikan alat pertukaran yang seimbang dengan dadu.

"Anda lelah, Tuan?"

Langkah Alex terhenti seketika. Menoleh pelan di mana wanita yang sejak tadi memenuhi rongga pikirannya. Ia kenakan pakaian panjang menutupi seluruh tubuhnya yang seputih pualan. Rambut pirangnya ditempa cahaya mentari siang membuatnya makin bersinar. Seolah usia bukan hal yang mampu membuat wanita itu terlihat tua tapi justeru semakin terpancar kecantikannya. Tulang pipinya makin terisi dengan lemak mungkin karena Alex memastikan dirinya tak kekurangan makan. Dibanding saat pertama kali mereka bertemu, kondisi Bellamie saat ini jauh lebih baik.

Jubah besar yang terbuat dari kulit rubah berbulu hampir sewarna dengan rambut wanita itu, menjaga suhu tubuh Bellamie tetap aman karena terik matahari ini hanya sebatas terik. Udara yang berembus cukup membuat kebekuan di ujung jemari.

"Tidak. Justeru pertanyaan itu harusnya untukmu."

Bellamie tersenyum lebar. Giginya yang putih terlihat jelas. Matanya saja bahkan hampir tenggelam karena senyumnya itu. Yang membuat Alex tanpa sadar bergerak mendekat.

"Tidak, Tuan. Aku menyukai perjalanan ini. Sepatu yang kau berikan melindungiku dari batu-batuan yang sejak tadi cukup menyulitkan gerak langkahku."

Mata mereka bertemu dalam jarak yang makin tipis. Embus napas Alex sudah sejak tadi terasa di pipi Bellamie yang makin merona karena udara di sekitarnya makin rendah saja.

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang