DICE. 100

28 14 1
                                    

Setelah kekalahan Gideon.

Gala tak peduli kalau ia sudah melukai perasaan ayahnya. Pikirannya penuh pada peristiwa yang membuatnya terkejut luar biasa. Memang, mereka adalah pihak yang menang tapi rasa bangga juga senang tak ada setitik pun yang menyapa hatinya. Justeru kekalutan dan kekhawatiran yang sangat tinggi segera menguasai sanubarinya. Ia tak mau menerima kalau dadu itu menghilang seiring dengan Dice yang tak lagi ada di sampingnya.

Pengorbanan itu seharusnya tak ada. Masa depan yang ia lihat itu seharusnya tak terjadi. Kilas memori yang sangat ingin ia singkirkan dari hidupnya malah ia saksikan dengan jelas. Padahal ia bisa mencegahnya, kan? Kenapa ayahnya tak mau mendengarkan? Kenapa juga harus melakukan tindakan yang cukup berisiko ini? Rasanya Gala mau gila memikirkan bagaimana cara kembali ke masa lalu, atau setidaknya mencegah Dice melakukan hal yang membuatnya meninggalkan Gala.

Kepalanya pun penuh dengan banyak kebersamaan mereka sejak awal bertemu. Yang mana membuat Gala berkali-kali meneriaki nama gadis itu. Berlari tak tentu arah karena siapa tau ada satu sudut di mana matanya tak fokus menatap dan memperhatikan. Terus mengafirmasi dirinya juga mengumpulkan banyak kenangan agar pemikiran buruk yang menggerogoti kepalanya bisa tersingkir cepat. Ia tak mau memikirkan banyak hal kecuali Dice masih ada. Ia hanya sekadar pergi sesaat. Yang Gala yakini, ia harus segera menemukan dadu itu.

"Dice!!!" teriaknya lagi. Suara embus angin makin kencang di mana sepertinya badai mulai datang. Matanya mendongak dan mendapati langit tak secerah dan sebiru tadi. Ada kegelapan yang mulai menuju ke arahnya tapi Gala tak takut. Bahkan kalau harus melawan badai tapi di ujungnya nanti, Dice ada di sana, maka ia akan menghadangnya. Melewatinya kalau perlu atau bergumul dan menyingkirkan badai pasir itu untuk menemui gadis hologram itu.

Sekali lagi Gala berteriak dengan lantangnya seolah menantang langit. "DICE!!!"

Tak ada jawaban.

"CATHLEEN!!!"

Gala tak peduli kalau nantinya pita suara atau ia seperti orang tercekik. Nama itu terus ia teriaki dengan kuatnya. Berharap sedikit hanya agar ia mendengar suara yang dirindukannya itu. "Dice! kumohon jawablah aku!!!"

Pemuda itu belum mau menyerah. Tak peduli betapa badai pasir ini mulai kuat berembus. Kakinya juga sukar ia gerakkan di mana pijakannya juga makin membuatnya tenggelam. Pasir itu pun makin memberatkan langkah Gala yang terseok. Butiran pasir yang masuk ke dalam sela-sela lukanya yang menganga lebar itu mulai membuatnya kesakitan. Tapi Gala tetap lah Gala. bersikeras menghajar semuanya dengan segenap tenaga yang ia miliki. Ia abaikan semua yang kini tak lagi bisa ia pandangi dengan jelas karena amukan badai pasir sudah terjadi. Mengandalkan punggung tangannya, Gala menghalau pasir yang mulai menyerang penglihatannya.

Sampai ...

"ARGH!!!!"

"Kau lihat bintang itu, Tuan?"

"Tidak."

Gadis berambur perak itu menoleh lalu mencibir. "Bisa kah Anda serius sejenak? Malam setelah badai ternyata membuat indah penampilan langit." Ia merajuk karena pemua di sampingnya ini justeru menatapnya dengan lekat. Bukan ia tak suka hanya saja kegugupan yang melandanya takut sampai terdengar ke telinga Gala. terutama degup jantungnya yang ia rasa sangat berdebar. Kencang dan mendesirkan banyak aliran darah yang rasanya makin membuatnya bersemu merah di pipi. Entah apa hubungannya tapi sungguh, diperhatikan seperti ini oleh Gala menciptakan salah tingkat tersendiri yang ia rasakan.

"Aku serius, Cathleen. Bagiku, langit terlihat biasa saja. Hanya cerah, makin pekat, banyak bintang dan rembulan yang bersinar terang sekali. Bahkan pantulan cahayanya sangat indah di permukaan danau, kan?"

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang