DICE. 40

30 12 2
                                    


"Dice, kau yakin ini semua aman?" tanya Gala sembari memastikan sepatunya terkunci rapat. Di depan pondok kayu yang ia tinggali, ada sebuah danau yang membeku. Sinar mentari siang yang cukup menghangatkan wajah, tak mampu menembus tebalnya es yang membukan danau.

"Aman, Tuan." Dice mengulurkan tangannya. "Cobalah berpegangan padaku. Tak akan kubiarkan Anda terjatuh."

Gala tertawa. "Dice, kau tau?" Pemuda itu membenahi penutup kepalanya. Juga kacamata yang kini selalu ia kenakan bukan sebagai aksesoris tapi sebagai pelindung juga alarn tersembunyi yang selalu siaga. Dadu itu kembali terkalung aman di lehernya. Tak pernah ia biarkan menjauh karena Gala menyaksikan sendiri bagaiaman kerja dadu itu.

"Ya, Tuan?" Dice bertanya karena tuannya tak juga melanjutkan ucapannya. Tangannya masih terulur karena kali ini, berseluncur di atas danau es butuh kelihaian tersendiri. Ia takut tuannya terluka karena menurut pengamatan Dice, walau tempat ini aman dan ketebalan es tak mudah mengalami retak tapi ia tetap harus bersikap waspada, kan?

"Kau seperti seorang bodyguard."

Dice hanya tersenyum. Lalu saat tangannya disambar oleh Gala yang tadi masih setengah berjongkok, ia tak tau kalau sang tuan menariknya sedikit. Membuat mereka sangat berdekatan.

"Tapi bodyguard yang kupunya ini aneh. Tak bisa terlihat orang lain. Hanya bisa kusentuh juga tersenyum meremehkan, tertawa menyebalkan, dan cerewetnya melebihi ibuku."

"Aku anggap itu sebagai pujian, Tuan." Dice sedikit melepaskan diri. "Silakan Anda bersenang-senang. Aku yakin Anda akan menikmatinya." Ia pun mendorong bahu Gala dengan kuat. Membuat pemuda itu berteriak kaget. Kakinya meluncur begitu saja namun dalam keseimbangan yang sangat akurat. Membuat tubuh Gala segera menyesuaikan diri.

Angin dingin yang menerpa segera saja membuat ujung mata Gala sedikit perih namun terasa menyenangkan. Sejauh mata memandang di mana Gala berseluncur bak pemain professional. Sesekali memekik kegirangan dengan tangan terentang lebar. "Dice! Ayo!"

Gadis hologram itu terlihat agak jauh dari pandangannya.

"Tuan nikmati saja permainan sederhana ini." Suara Dice terdengar jelas di telinganya. Kacamata yang Gala kenakan sudah kembali menampilan seluruh area hutan ini dengan perspektif lebih luas lagi. Dice juga muncul di sana. Berdiri dengan tatapan yang tak teralihkan menatap tuannya. "Aku suka Tuan seceria ini. Tak perlu merasa risau dan terlihat damai."

Gala tertawa. "Kau tau?" Ia pun memutar arah dengan tajamnya.

"Kau pamer, Tuan?"

"Tidak. Tidak." Gala sedikit membenahi kacamatanya. Jarak mereka cukup jauh tapi dari kacamata ini, mereka terlihat sangat dekat. Seolah Dice ada di sampingnya. Ah, Gala lupa kalau Dice bisa berpindah kapan pun ia mau.

"Lalu apa yang harusnya aku tau?" tanya Dice cukup penasaran. Tuannya masih berdiri tegak di ujung sana.

"Bisa kah aku meminta kau itu benar-benar nyata, Dice?"

Dice terdiam tapi setelahnya terkekeh. "Aku hanya system buatan, Tuan. Tak bisa menjadi kenyataan."

Gala mengangguk kecil. "Kalau begitu, selama system yang kau miliki tak mendapatkan kendala, selamanya kau temani aku, Dice?"

"Ratusan tahun aku menemani ayah Anda, Tuan. Dan kini giliran Anda yang aku temani."

Lagi-lagi Gala mengangguk tapi diringi dengan satu helaan yang cukup panjang. Matanya mendongak pada langit yang cerah ini. Awan-awan yang berarak ditiup angin dingin bergerak lembut di sana. Cahaya matahari yang menyilaukan sedikit membuat kehangatan di sekitar wajahnya. Masih kalah dengan suasana dingin di sini.

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang