DICE. 95

33 15 2
                                    


"Senang bertemu dengan Anda kembali, Tuan," lirih Dice dengan sangat pelan. terkuras banyak sekali tenaga serta energinya untuk menahan portal agak dunia cermin tak segera menutup untuk waktu yang dibutuhkan Xavier namun sepertinya sang tuan cukup kesulitan membuat Gideon bertekuk lutut. Dice sudah menyadari hal itu apalagi pemindaiannya tak pernah salah menilai sosok Xavier Horratio yang baru bangkit dari pejam lamanya.

Banyak kelemahan yang dimiliki sang tuan tapi sepertinya, ia bersikeras mau menghadapi Gideon. Kalau saja Dice tak menahan gerak dan memperlambat Gideon bisa dipastikan Xavier sudah terbunuh di saat penguasa itu melemparkan belatinya. Kalau mengingat duel mereka di dunia cermin cukup membuat Dice khawatir. Padahal juga banyak sekali protes yang Dice layangkan tapi seperti biasa, Xavier dan kekeraskepalaannya. Mungkin kali ini ia bukan tak mau mendengar keluhan Dice tapi lebih pada dendam pribadinya pada Gideon.

Entah apa yang Xavier inginkan karena tuannya ini memang tak banyak bicara seperti Gala yang sering sekali membuatnya pusing. Kendati demikian, Dice tau arah yang Gala inginkan dan kebanyakan ia menyetujuinya. Atau malah, tak pernah terpikirkan olehnya namun Gala mampu melampaui pemikiran serta banyak hal yang pemuda itu jadikan pertimbangan. Sangat berbeda dengan pemikiran Xavier di mana Dice dibuat selalu mematuhinya. Tak berani banyak membantah.

"Kau istirahat saja. tapi tolong berikan semua perlindungan khusus."

"Kurasa kalau desakannya tak terlalu banyak, shield masih bisa diluncurkan untuk masing-masing orang, Tuan."

Gala menghela pelan. pedangnya sudah teracung sempurna pada Gideon yang menatapnya dengan penuh murka.

"Tapi sepertinya Anda yang paling membutuhkan di sini. Gideon yang Agung benar-benar tak akan melepaskan Anda dengan mudahnya."

"Dan aku pun akan mengakhiri ini dengan cepatnya, Dice. Sudah cukup permainan strategi dari Ayah. Aku kesal jadinya."

Dice terkekeh. "Kesal seperti ini tapi kau masih bisa mengambil ancang-ancang untuk menyerangnya? Ya Tuhan! Aku patutnya memang memuji Anda dengan sangat banyak."

Mendengar hal itu membuat Gala menarik sudut bibirnya. "Kau harus melakukan itu untuk waktu yang lama, Dice." Sorot matanya mulai berubah seiring dengan dadu yang berpendar di dekatnya. Cahaya jingga itu sangat kuat berputar di atas tangannya. Di mana Gideon berlari dengan tombak bermata tiga seperti trisula yang siap meremukkan Gala sekali pukul dan pertarungan sengit itu kembali terjadi.

Bunyi kelontang antar senjata yang saling beradu memenuhi indera pendengaran mereka. Kaki Gala bergerak cepat untuk menjegal Gideon namun gerak itu terbaca dengan sempurna. Tubuh Gala yang sedikit menunduk dimanfaatkan Gideon untuk menikamnya tapi Gala selicin belut. Ia meloloskan diri dengan pedang yang tertancap di tanah sebagai poros. Dicabutnya kembali pedang itu lalu menangkis serangan Gideon dengan cepat.

Satu pukulan dari tombak itu mengenai lengan Gala di mana membuat pemuda itu mundur beberapa langkah. Ia berjengit sakit dan refleks memegangi bagian yang terkena pukulannya barusan. Ia menggeram pelan di mana pasti ada jejak kebiruan di sana. Satu pedang yang ada di balik punggungnya kembali ia tarik. Bunyi gesekan antara sarung dengan pedannya cukup membuat Gideon menunjukkan sikap waspada.

"Aku tak main-main lagi kali ini, Gideon." Gala mengambil posisi menyerang. Salah satu pedangnya ada tepat berjajar dengan sorot matanya yang memandang lurus pada Gideon sementara pedang satunya, ia pegang dengan posisi lebih rendah.

"Aku pun tidak, Bocah Tengik!" Gideon setengah berlari di mana Gala pun melakukan hal yang sama. Satu lompatan besar di mana akhirnya mereka bertemu di udara dengan pedang serta tombak yang saling beradu pun kembali terdengar. Masing-masing dari mereka tak ada yang mau mengalah untuk mendesak lawannya hingga kalah.

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang