"Penampilanku bagaimana, Dice?"
Gadis hologram yang hari ini berpendar merah jambu itu mendongak. Di depannya ada layar yang menampilkan rekaman pertarungan latihan mereka di danau es. Sesekali Dice menghentikan rekaman itu dan mengatakan pada Gala bagaimana sebaiknya sikap juga tindakan yang harus diambil ketika terdesak musuh di titik krusial seperti ini. Gala? Malas mendengarkan.
Ia kalah dan harus membayar hutangnya walau Dice belum mengatakan kapan akan berkeliling hutan.
"Cukup menarik, Tuan. Tapi usahakan memilih jaket yang lebih tebal dari ini." Dice pun bergerak mendekat pada lemari penyimpanan di kamar tuannya. Mencari barang yang ia pikirkan juga sudah ia persiapkan sejak lama. "Yang ini, Tuan."
Gala berdecak pelan. "Oke. Ada lagi?"
Dice menatap Gala lekat. Memindai mulai dari ujung kepala sampai kaki di mana tuannya ini sangat jauh berbeda dengan saat pertama kali mereka bertemu. Potongan rambutnya makin tertata. Wajahnya juga lebih bersih juga sorot matanya tajam. Belum lagi entah kenapa tubuh Gala sepertinya sedikit mengembang. Bukan bertambah besar seperti Mr. Kim. Dice ingat pemilik restoran yang menyebalkan itu.
Tambah menyebalkan dan geram sekali Dice saat mendengar Bellamie mengatakan kalau menitipkan Gala padanya. Tapi kenyataannya Gala malah diperlakukan tak adil. Mungkin tak jadi soal kalau Gala membantunya di restoran tapi bukan berarti tuannya jadi tukang sampah dan membersihkan semua peralatan kotor, kan? Ditambah sikap Mr. Kim yang jauh dari kata baik.
"Tidak. Anda sudah keren."
Gala tergelak. "Ini pujian atau sebatas kata-kata yang ingin aku dengarkan?"
"Ini pujian tulus dariku, Tuan."
Senyum Gala jadinya makin lebar. Dirapikannya sekali lagi tatanan rambutnya. Kacamatanya lalu ia gunakan. "Obrolanmu mengenai strategi perang bisa dibahas setelah kembali dari undangan Seth Rafael. Sepertinya pembahasannya menarik."
Kali ini Dice gentian yang tersenyum. Padahal sejak tadi Dice merasa Gala tak peduli dengan semua ucapannya. Apa karena pujian barusan? Yang segera saja membuat Gala senang?
Astaga! Untuk satu tingkah ini, Dice setuju kalau antara Gala dan Xavier itu sama. Persis. Mirip. Tingkat percaya dirinya tinggi sekali.
Sementara Gala sudah siap dan memastikan dadu terkalung sempurna. Pendar jingga itu meredup dan segera ia tutup dengan jaket yang dipilihkan Dice. "Ayo, kita berangkat."
Pendar merah muda itu lenyap. Pertanda Dice masuk ke dalam dadu. Mobil jemputan mereka memang sudah menunggu sejak beberapa menit lalu. Dan saat mereka sudah siap, segera saja mobil itu meluncur meninggalkan pondok kayu yang Gala tempati itu.
Gala sesekali memperhatikan ibunya yang duduk dibuat setenang mungkin padahal ia tau, ada rasa takut yang cukup menyergapnya. Pemuda itu pun merasakan hal yang sama. Bukan tanpa sebab, tapi ini semua ruang tertutup di mana ia tak leluasa bergerak. Kalau terjadi sesuatu, Gala belum tentu bisa maksimal dalam hal melindungi. Mereka sudah ada di salah satu mobil SUV mewah yang berjalan cukup cepat membelah jalanan di mana hampir tepiannya banyak tumpukan salju.
Sejauh mata memandang pun yang terlihat hanya putih walau pepohonan yang mengelilingi sekitaran pondok kini mulai terlihat berwarna; hijau tua. Namun itu semua tak dapat mengalihkan perhatian Gala terhadap supir serta pria yang duduk di sebelahnya itu. mereka sendiri dalam mode waspada terlihat dari sesekali mereka melirik ke arah Gala juga ibunya.
Walau Dice bilang bertemu dengan Seth Rafael tak jadi soal tapi tetap saja, Gala meminta agar Dice tak menurunkan kewaspadaannya. Siapa tau datang bom salju. Iya, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
DICE
Fantasy'Satu dadu meluncur, hidup kalian taruhannya.' Pendar itu nyata, senyata hidup Gala yang berantakan. Sendirian dan mengutuk siapa pun yang membuat dirinya ada di tengah kejamnya Metro. Hingga ia bertemu takdirnya. Di mana satu per satu mulai terlih...