DICE. 7

61 14 1
                                    


Seorang wanita berambut pirang tampak menggigil di salah satu sudut lorong. Tangannya berulang kali ia gosokkan sekadar berbagi kehangatan tapi percuma. Udara di sekitarnya memang sudah tak lagi bersahabat. Ditambah pakaian yang ia kenakan sejak semalam basah dan mungkin saja kering kembali di tubuhnya yang makin mengurus.

Matanya mulai berkunang-kunang menatap sekitar. Tak banyak yang berlalu lalang di sana. Wanita itu tak peduli. Yang ia pikirkan adalah kembali melangkah menjauh agar tak lagi diketahui para pengejarnya. Beberapa kali menoleh ke belakang memastikan kalau ia benar-benar sudah berhasil lolos. Sejak tadi, hampir sepuluh menit ia berhenti. Kepalanya seperti ditusuk ribuan jarum. Belum lagi ujung kakinya yang hanya mengenakan alas sepatu yang sudah berlubang di ujungnya, sudah kaku dan sukar digerakkan.

Ia mencoba mengingat apa sekarang sudah memasuki musim dingin?

"Sial. Aku lupa Metro Utara ini negara dingin," rutuknya. Kembali ia dekap tubuhnya sendiri. Napasnya mulai berasap dan jalannya pun semakin sakit. Ia meringis pelan tapi berusaha mengabaikan. kepalanya teringat kehangatan yang ditawarkan tempat bernama rumah. Tapi sayangnya, ia memilih keluar untuk mencari seseorang yang begitu ia rindukan. Di mana kabar itu sungguh membuatnya gemetaran.

"Xavier sekarat. Kalau kau tak segera keluar dan menyelamatkannya, Xavier bisa mati. Segera, Bellamie. Segera."

Suara itu yang akhirnya menuntun dirinya ke sini. Mencari ke segala penjuru tapi nihil. Minimnya informasi dan hanya berbekal secarik alamat yang ternyata membawanya dalam belenggu perdagangan manusia. Bodohnya ia. Tidak. Sekarang bukan saatnya ia mengeluh. Kesempatan tak akan datang dua kali.

Semalam Vore Club ramai dikunjungi turis serta pengunjung langganān mereka. Ingar binger di sana seperti denyut nadi yang tak mati dilalap hari. Selalu saja ada kehidupan di sana. Jikalau siang hari gedung berlantai sepuluh ini menjelma menjadi hotel di mana kebanyakan penghuninya pun adalah para pelanggan mereka yang enggan pulang sebelum puas. Di malam harinya, lampu-lampu di sana makin semarak seperti musik yang berdentam di dalamnya.

Bellamie bagian dari mereka, tadinya.

Entah ada angin apa, pihak berwenang Metro Utara menyambangi hotel. Menggeledah semua penjuru dan dimanfaatkan Bellamie yang tengah mengantarkan minum pada tamu-tamu penting. Katanya begitu. Ia kabur setelah bergabung dengan pengunjung lainnya. Tak peduli kalau semua langkahnya membuat sepatunya koyak. Belum lagi di luar hujan. Bellamie tak peduli asalkan apa-apa yang penting baginya masih menempel di badan termasuk sejumlah uang yang berhasil ia kumpulkan selama ini.

Ia tak bisa bebas keluar dari sana. Setiap kali ingin keluar, ada satu pengawal yang menemaninya. Layla, rekan sesame pengantar minum yang juga double profesi menjadi wanita penghibur bilang, sekali masuk ke dalam Vore Club, selamanya terikat kontrak di sana. Mereka dijadikan sapi perah kecuali bisa menduduki kelas yang lebih tinggi.

Wanita Penari. Sebutannya seperti itu.

Di mana di sana sekumpulan wanita dengan paras di atas rata-rata, menjual segala cantik yang mereka punya untuk menghibur para tamu. Di malam hari, mereka berkotor ria dengan banyak pria tapi di siang hari mereka mendapat fasilitas khusus untuk memanjakan diri. Kesempatan untuk keluar dari cengkeraman pemilik Vore Club pun besar asal si penebus mereka, sanggup membayar sejumlah uang.

Biasanya yang memang menginginkan wanita itu lah yang mau membayar lebih. Jarang sekali terjadi.

Bellamie tak lagi peduli urusan di sana. Baginya ia harus keluar. Ia memilih pulang. Bertahun-tahun meninggalkan putra semata wayangnya. Bagaimana nasibnya? Bagaimana ia tumbuh? Kenapa juga ia gampang sekali terperdaya seperti itu? Kalau mengingat itu semua membuat Bellamie terpuruk.

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang