Di sela istirahat makan siang yang bisa dikatakan bukan istirahat karena singkatnya waktu yang diberikan, Gala masih bisa bersyukur ada kesempatan mengganjal perut. Walau kali ini perut yang biasa menahan lapar tak seperih biasanya. Entah Gala mesti bersyukur atau bagaimana yang jelas, hari ini Gala seperti dijatuhi lebih dari sekadar kesialan.
Atau justeru kebalikannya?
Beruntung?
Gala tak tau apa ini disebut keberuntungan atau musibah yang dibalut kegembiraan di pagi harinya tadi. Di mana ia tengah menyantap aneka makanan yang tersedia di meja. Nanti. Nanti akan ia pikirkan dari mana semua ini berasal. Tetangga di flatnya tak ada yang terlalu baik. Semuanya biasa saja bahkan lebih seringnya menambah daftar sial yang Gala punya.
Namun ...
Gala tersedak hebat saat baru saja mengunyah potongan ayamnya tanpa peduli, dari mana asal semua makanan yang ada di kulkas serta meja makannya. Lapar membuat otaknya makin kecil untuk berpikir. Apalagi perutnya segera memberontak kuat minta diisi karena sejak kemarin, makannya sangt sedikit. Buru-buru ia tenggak air yang ada di meja, hampir setengah jar minum yang kali ini ada isinya. Biasanya tak pernah ada. Matanya mengerjap berulang kali, diusapnya dengan kasar karena ia takut, apa yang ada di matanya sekarang adalah kebohongan.
Bayang gadis tadi ada lagi. Kali ini duduk tepat di depannya. Tersenyum walau kaku. Gerak wajah serta tubuhnya mirip robot tapi Gala tak yakin.
"Tuan menyukai masakanku?"
Ya Tuhan! Kegilaan apa lagi yang terjadi dalam hidup Gala? Apa gadis hologram bisa memasak? Tak mungkin!
"Kamu siapa?!" Gala mendorong kursinya dengan cepat. Ayam yang ada di tangannya bernasib sama menggenaskan sepertinya. Saking kagetnya tadi, ia lempar begitu saja ke arah gadis itu. Bunyi gesekan ujung kursi dengan lantai dapurnya yang sempit itu beradu kuat. Menimbulkan suara yang cukup mengganggu sebenarnya. Yang terlintas dalam benak Gala adalah pisau dapur. Di mana ia menyimpannya? Laci? Rak atas? Kulkas?
Semua tempat yang terlintas di kepalanya sudah ia geledah tapi nihil. Benda tajam itu tak ada di sana. Tak peduli kalau apa yang ai lakukan menimbulkan kegaduhan di dapur.
"Tuan cari apa?"
Gemetar pada tubuh Gala mulai merayap. "Tolong, pergi," ia putus asa. Pisaunya tak ada. Sekadar untuk jaga diri saja ia tak bisa. "Jangan ganggu aku," pelasnya.
"Mengganggu Tuan? Siapa?"
Gala tak berani melangkah, seinci pun ia tak bergerak. Memilih merapatkan diri pada dinding di dekat kulkas. Jantungnya makin berdebar keras ditambah keringat dingin mulai berkuasa di dahinya. "Ja-jangan mendekat." Matanya sudah basah air mata, peluhu di keningnya makin jadi. Apalagi ...
Gadis hologram itu bergerak sejak menanyakan siapa yang mengganggu Gala. Matanya menatap Gala tanpa ekpresi apa-apa padahal tadi pemuda itu sempat melihatnya tersenyum. Walau rasanya seperti hanya ditarik terpaksa sudut bibirnya itu.
"Siapa yang mengganggu Tuan?"
"Pergi!" Dalam sisa keberanian yang Gala punya, ia sedikit berteriak. Tak pernah dalam hidupnya ia menemui hal seperti ini. Apa ini yang sering kali orang lain katakana? Hantu wanita penasaran? Dari mana asalnya? Bukankah seingat Gala dalam cerita yang pernah ia dengar, hantu-hantu penasaran berasal dari pemakaman? Ia tak pernah melewati area pemakaman selama ini. Tapi kenapa Gala yang disasar?
Gala tak memiliki apa-apa kecuali kesialan.
Dice terdiam, menelengkan wajahnya sedikit. Berpikir. Geraknya mendekati Gala sudah tak ia lakukan. "Bagaimana cara aku pergi, Tuan? Sementara sekian belas tahun aku menunggu hari ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DICE
Fantasy'Satu dadu meluncur, hidup kalian taruhannya.' Pendar itu nyata, senyata hidup Gala yang berantakan. Sendirian dan mengutuk siapa pun yang membuat dirinya ada di tengah kejamnya Metro. Hingga ia bertemu takdirnya. Di mana satu per satu mulai terlih...