DICE. 52

31 14 2
                                    


"Wow." Gala tak tau kata apa yang pantas meluncur dari mulutnya kecuali satu kata itu. Menurutnya sudah sangat mewakili atas apa yang ia dengar dari Cathleen yang mana sekarang gadis itu menatapnya dengan wajah memberengut. "Eh? Kenapa?"

"Kenapa?" Cathleen mendesah kesal. "Aku bercerita panjang lebar dan Anda hanya bilang 'wow'?"

"Apa lagi yang harus kutanggapi, Cathleen. Ini sangat ... luar biasa."

Mata biru Cathleen terputar jengah. "Bicara dengan Anda memang menyebalkan." Ia pun bangun dari duduknya. Dirapikan gaunnya yang agak kusut. Mueeza yang sejak tadi menyimak dengan tampang malas, sedikit bergeliat karena gerak dari Cathleen. Ujung kaki gadis itu ditindih sebagian besar hewan serumpun kucing besar itu. "Muezza, aku pamit dulu. Sampai bertemu di lain kesempatan. Jaga selalu apa yang harus kau jaga."

Kucing besar hitam itu hanya menguap lebar. Tangannya terjulur dengah tubuh seperti direntangkan pelan. Lalu bergelun manja pada Cathleen yang tersenyum sendu. "Aku mengerti. Seharusnya kau melihat caraku memegang pistol, Muezaa. Tuanku saja sampai kalah dan mengakui kehebatanku."

Gala yang mendengar serta menyimak baik-baik ucapan Cathleen melotot tak suka. Ia pun segera bangun dari duduknya. "Kapan aku kalah? Aku itu sengaja mengalah."

Mata biru itu lagi-lagi dirotasi. "Sudah kalah tak mau mengakui dan mengalah." Diusapnya sekali lagi kucing besarnya itu. "Aku pergi, Muezza." Cathleen pun melenggang begitu saja. Disambarnya segera jubah yang ditaruh di atas batu yang tak jauh dari tepian sungai jernih itu. Dikenakan dengan cepat serta langkahnya berayun anggun.

"Cathleen," panggil Gala buru-buru. Ia pun mengucapkan perpisahan pada Muezza dan berharap bisa bertemu lagi. Sebagai balas, kucing hitam itu malah menjilat wajah Gala dengan cepat. Membuat pemuda itu mengernyit jijik tapi tak ia tunjukkan. Setelah agak menjauh dari panther hitam itu, Gala bergegas mengusap wajahnya dengan ujung kemeja yang ia pakai. Juga menyambar jaket tebal yang ia taruh tak jauh dari Cathleen meletakkan jubahnya.

"Cathleen!" panggil Gala sekali lagi di mana gadis itu sama sekali tak mengurangi kecepatan langkahnya. Sampai ujung kaki mereka menginjakkan lagi pada tempat bersalju. Terpaan angin dingin mulai menyapa mereka kembali dan di saat bersamaan, tangan Gala segera menyusup pada jemari Cathleen yang terbebas dari sarung tangannya. Kehangatan yang masing-masing rasakan membuat mereka berdua menoleh serempak.

"Tunggu aku. Jalan ini berbahaya. Kau bisa jatuh."

Cathleen hanya tersenyum kecil. "Baik lah. Aku menanti Anda menggenggamku hingga ke ujung pintu keluar."

"Terdengar cukup manis."

Gala tau, Cathleen memilih menunduk untuk menyembunyikan rona di pipinya. "Oiya, Cathleen, kenakan penutup kepalamu. Sepertinya udara turun dengan cepatnya."

Cathleen setuju akan hal ini. Ia turuti perintah Gala dan menikmati punggung pemuda itu dari jarak sedekat ini. Matanya juga sesekali menatap tautan tangan yang kembali terjalin. Kuat. Erat. Dan menimbulkan efek kenyamanan tersendiri baginya. Perlahan kakinya menaiki undakan es yang memang licin itu. Kadang ia melihat Gala sibuk mengatakan dan memperingati langkahnya jangan sampai tergelincir. Kadang ia juga rasakan genggaman itu mendadak menguat kadang lagi tidak.

Pembicaraan di mana terkuaknya siapa dirinya masih terngiang di kepala. Semua tanggapan Gala juga bagaimana sesekali ia berkomentar dan bertanya hal-hal yang dijawab Cathleen dengan lugas. Ia tak mau menutupi juga tak ingin menggunakan bahasa kiasan. Dengan Gala ia jadinya terbiasa menjelaskan sedetail mungkin namun setelahnya, pemuda itu bisa membalik keadaan dengan sangat baik.

"Saat itu ... usiaku 19 tahun." Cathleen memulai obrolannya. Dilirik, Gala menyimak dengan baik. Matanya tak dialihkan ke mana-mana. Mereka duduk berhadapan di bawah pohon rindang yang Muezza jadikan tempat beristirahat tadi. "Namun aku dinyatakan koma karena penyakit yang kualami sejak bayi. Aku tak tau persis apa yang kuderita karena Papa tak pernah mau memberitahuku. Tiap kali aku bertanya, Ayah justeru menangis."

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang