DICE. 73

43 13 3
                                    


"Dice," panggil Gala pelan. Di ruang yang terpisah dari tempat ibu dan ayahnya itu beristirahat karena ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan pada Dice. Di mana ia memang butuh bicara dengan gadis hologram yang tak bisa ia jangkau beberapa waktu terakhir ini. Sebenarnya Gala bertanya-tanya juga tapi sepertinya ia sedikit banyak memahami kalau mungkin saja di tempat ini lah saat itu terjadi sesuatu dengan Dice. Tapi ia tak bisa bertanya jauh karena Kyler menutup pembicaraannya dengan sederet pelayan yang masuk dari arah lainnya. Saat mereka tengah bicara bersama di ruang kerjanya yang temaram itu.

"Ya, Tuan." Dice kembali muncul. Kali ini pendarnya jingga sama kuatnya seperti dadu serta bola mata sang tuan.

"Kau ... baik saja?"

Dice hanya menampilkan senyum kakunya. "Sudah jauh lebih baik."

"Kau dengar semua percakapan kami?"

Gadis itu mengangguk.

"Kau ingin bertemu Xavier?"

"Tidak, Tuan. Kurasa beliau harus beristirahat total."

Gala mengangguk pelan. "Ketatkan keamanan untuknya. Terutama untuk ibuku."

"Baik, Tuan."

"Dan bersiap lah pada kemungkinan terburuk, Dice." Gala berkata dengan langkahnya yang tanpa ragu mendekat pada gadis hologram yang berdiri tak jauh darinya. Diangkatnya pelan dagu gadis yang bisa ia sentuh ini. "Aku takut sebenarnya. Takut sekali," lirih Gala.

"Anda keturunan Horratio, Tuan. Kata takut tak boleh meluncur dari bibir Anda."

"Andai bisa segampang itu, Dice."

Mereka saling bersitatap. "Apa yang Anda takutkan?" tanya Dice pelan. Tangannya terjulur menyentuh rahang milik tuannya di mana sorot mata jingga itu terpejam perlahan. "Ada aku di sisimu. Apa itu kurang?"

Pemuda itu menggeleng pelan. "Kau pernah mengatakan, kilas-kilas masa depan terkadang bisa ditunjukkan dadu ini, kan? Di mana saat itu tercampur dengan semua ketakutanku akan keberadaan Ibu."

Dice terdiam mengamati Gala yang masih terpejam. Menunggu apa yang akan Gala ucapkan.

"Di masa depan," Gala menarik napasnya kuat. Direngkuhnya Dice dalam pelukannya. Ia tumpu dagunya pada bahu sang gadis. Terisak pelan saking tak sanggupnya ia bayangkan.

"Seandainya masa depan itu terjadi nyata, Tuan," Dice membalas pelukan itu. "Setidaknya aku sangat senang dan bahagia mengenal Anda."

Gala segera melepas pelukan itu. "Jadi kau memang berniat meninggalkanku, Dice?" tanya Gala dengan sorot mata tertekan. Dalam sekali kejap pasti air matanya menetes.

"Bisa saja kilas itu tercampur dengan kekhawatiran Anda yang sangat tinggi. Detak jantung Anda, alur napas Anda sekarang sangat mengisyaratkan hal itu, Tuan."

"Apa bisa kita ubah masa depan?"

"Bukan kah Anda pernah melakukannya?"

Kening Gala berkerut dalam.

"Ibu Anda."

"Ah, benar."

Dice meletakkan tangannya di dada Gala. Ia bisa sangat merasakan debar itu demikian kuat. "Percaya lah. Anda akan melakukan yang terbaik."

Gala mengangguk yakin. "Pasti."

"Dan apa pun ..." Dice berkata dengan nada terbata. "Apa pun yang terjadi nantinya, percaya lah, betapa indah masa depan akan menyongsong Anda."

"Indahnya dari mana Dice kalau kau meninggalkanku dan ayahku ..." tunjuk Gala ke arah pintu ruangan. "Ayahku meninggalkan kami semua selamanya." Tangan itu gemetar hebat. Untuk pertama kalinya, Gala menangis. Tanpa suara. Ia biarkan air matanya menetes membasahi pipi. "Aku benci mengetahui masa depan, Dice. Sangat benci. Bahkan keinginanku kuat sekali membuang dadu ini tapi mengingat betapa berbahayanya dadu ini jika dimiliki orang lain, keinginan itu lenyap. Tapi seiring waktu berjalan, aku pun tersiksa, Dice."

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang