DICE. 35

25 12 3
                                    


Napas Bellamie merengap. Keringat dingin sudah membanjiri keningnya. Tubuhnya mendadak menggigil padahal ia habis jatuh dari motor yang dilarikan dengan kecepatan tinggi. Nyeri yang tubuhnya dapati, tak ia rasakan sama sekali. Darah yang juga turut membuat kakinya merasa panas serta perih akibat luka yang mungkin menganga di sana, perlahan mulai mengganggu konsentrasinya saat berdiri dan bergerak mendekat pada pemuda yang melindunginya ini.

Ada kengerian yang lebih dari sekadar nyeri yang ia rasakan. Punggung tegap anaknya ini memang membentenginya tapi tetap saja ia merasa mereka semua terancam apalagi ia sempat melihat, pria yang menghadang jalan mereka.

Gideon yang Agung.

Suara-suara tembakan yang masih terdengar, ledakan yang juga menjadi latar belakang kondisi mereka saat ini, menambah kesan menegangkan di tepian hutan ini. Sejauh mata memandang, Bellamie hanya melihat kepulan asap yang membumbung tinggi. Suara serta pekikan kesakitan juga beberapa perintah yang memekak bisa ia dengar dengan jelas. Keadaan seperti perang besar terjadi tapi dengan pihak siapa? Anaknya? Ia hanya sendirian, kan? Apa salahnya? Apa yang sudah Gala perbuat?

Atau pihak Gideon yang Agung? Dengan pihak Metro Utara? Tapi kenapa? Kalau perang ini berlangsung di bagian Metro Utara, artinya ...

Seketika itu juga ia teringat akan pembicaraan yang terjadi antara Alexander Millian dengan orang kepercayaannya di telepon. Membuat pria berambut putih itu buru-buru pergi. Menyisakan Bellamie yang tampak termangu di tepian ranjang. Kata-kata terakhirnya itu membuat Bellamie sedikit senang dan berharap tak ada hal aneh yang terjadi.

"Aku ada urusan, Bella. Beristirahat lah dan nyamankan dirimu selama aku tak ada," katanya yang ditutup dengan satu kecup manis di belah bibirnya.

Namun harapan itu hanya sebatas harapan. Alex kembali dengan wajah tegang. Memaksa Bellamie untuk mengatakan kejujuran di mana sebenarnya Bellamie sendiri tak pernah menutupi diri dari apa yang terjadi di masa lalu. Ia memilki seorang anak. Tapi karena Bellamie merasa, ia hanya seorang tahanan yang makin hari makin banyak harapnya untuk mengatakan keinginannya pulang sejenak ke Metro Selatan. Mungkin nantinya Alex berbaik hari mau mengabulkan permohonannya.

Dan tak lama setelah itu, terjadi peristiwa yang membuatnya kebingungan setengah mati. Anaknya datang ke mansion Alexander. Dengan tatapan serta gestur yang sangat mengintimidasi. Membuat beberapa kerusakan di beberapa titik. Bellamie bisa melihat di arah gerbang utama yang Nampak hancur. Juga suara ledakan yang masih jelas bisa ia dengar saat akan mencari Alexander. Rasanya Gala ini terlibat jauh sekali dengan para petinggi ini? Apa yang telah anaknya lakukan selama ini? Apa karena tak ada dirinya di samping Gala, membuat pemuda itu mengambil jalan yang kacau? Atau ada hal lain lagi?

Kalau benar seperti itu, makin jadi lah rasa bersalah yang Bellamie punya. Ya Tuhan, apa yang telah ia perbuat belasan tahun lalu! Mau merutuki penyesalannya sekarang juga sepertinya ia harus menunda. Situasi yang Bellamie alami dengan Gala bukan situasi biasa. Hidup dan mati mereka sepertinya menjadi taruhan.

"Dan siapa kah yang menghalangi jalanku kali ini?"

Bellamie sedikit bergidik. Suara Gala berbeda dari sebelumnya. Ia sangat menyadari hal itu. Wanita berambut pirang itu menatap penuh penasaran pada punggung Gala yang menjadi tameng tersendiri baginya. Berjuta tanya yang berpusing di kepalanya benar-benar ia tekan dan berdoa dengan sangat agar mereka semua selamat. Dan bisa bertanya sebenarnya apa yang terjadi pada mereka berdua ini.

"Wow." Gideon yang Agung cukup kagum dengan keberanian pemuda yang tak ia lepaskan tatapannya. Tak ada gentar dalam sorot matanya. Sesekali warna jingga terlihat di sana. Sama seperti milik Xavier saat tak mau diganggu sedikit pun oleh interupsi dari mana-mana.

DICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang