Setiap kali pagi menjelang, kepala Gala bagai digodam palu raksasa. Peningnya tak kunjung hilang dan selalu gontai saat ia mulai melangkah. Tingkahnya yang sembrono terkadang lebih banyak membuatnya berkali-kali terjungkal. Karpet usang, koyak di beberapa sisi, juga berbau sangat apek, yang selalu membuatnya jatuh mencium lantai. Selalu dan selalu.
Itu semua terjadi hamper setiap harinya. Gala sendiri kebingungan ada apa sebenarnya dirinya? Selayaknya orang paling bodh di dunia. Jika sudah seperti ini, Gala hanya mampu mengusap keningnya pelan. Duduk bersila sembari berkali-kali menggerutu atas kesialan yang ia punya.
Entah karena kikuk atau memang Gala dilahirkan dengan banyak kecerobohan. Ia sendiri tak mengerti.
"Gigiku lama-lama rontok kalau seperti ini caranya," katanya pelan. Ia pun mengusap ujung bibirnya yang kembali terluka. Mengusap keningnya yang ia rasa sudah kebas saat berciuman dengan lantai. Melirik sebentar pada jam usang yang bersyukur masih bisa menggantung walau rasanya, kalau bisa mengeluh, jam usang itu sudah ingin sekali menjadi penghuni tempat sampah.
Setiap detik yang terlewati saja bunyinya sudah seperti orang sekarat, kesulitan bernapas, lemah sekali. Tapi Gala masih membutuhkannya. Mungkin bayarannya bulan ini ia bisa membeli yang baru. Sedikit lebih baik dari jam ini di toko barang-barang using yang ada di Border Market tak jauh dari tepian kota.
Pasar yang menjual aneka kebutuhan yang masih layak guna dengan harga yang lebih murah dari pada membelinya langsung di toko aslinya. Gala selalu ingin membeli barang-barang berkualitas, tapi ia sadar, ia tak memiliki cukup uang. Hidupnya bisa berjalan agak normal saja ia sudah sangat bersyukur. Entah pada siapa setidaknya, Gala tak mau lagi mengeluh.
Percuma.
Bantuan pun tak akan datang padanya. yang ada dirinya malah makin sial; diejek dan disingkirkan makin jauh.
Gala mendengkus setelahnya. Ia kembali melirik pada jam using tadi. Jarum panjang sudah melewati angka enam yang artinya ... ia terlambat. Kenapa harus selalu dirinya yang mendapat shift pagi? Yang selalu menjadi kelemahannya? Yang semakin membuatnya menjadi pecundang dan bahan olok?
Tak mau banyak merutuki nasib buruknya, ia segera bangkit. Sedikit tertatih dan menendang banyak barang yang terserak di dekat tempatnya jatuh tadi. Menyambar seragam yang sudah mulai pudar warnanya tapi setiap kali ia bicara dengan Mr. Kim, selalu hardikan yang ia terima.
Pria dengan pipi besar kemerahan mirip babi itu berkata dengan seenaknya. "Kamu staff dapur. Tak perlu bagus menggunakan seragam. Lagi pula urusanmu lebih banyak dengan kantung sampah. Seragam itu mahal. kamua yang tak becus merawatnya."
Jadi lah Gala pasrah dan menerima saja yang bisa ia kerjakan. Dua tahun berkutat dengan tumpukan sampah restoran cepat saji yang Mr. Kim kelola, tak pernah ada kenaikan posisi semisal menjadi koki atau yang lebih sedikit bermartabat di matanya. Pelayan.
Tak pernah. Berharap saja Gala tak sanggup apalagi meminta. Mungkin saat ini Gala sudah menjadi pengangguran yang hanya menyusahkan para tetangganya saja. Tak butuh waktu lama baginya berjibaku dengan kamar mandi. Selain karena tempatnya yang sudah tak layak, padahal berkali-kali Gala protes dengan pemilik flat, Nyonyah Milly, tapi tak kunjung mendapat perbaikan.
Malah Nyonya Milly semakin mendesak Gala membayar sewa yang menggunung karena saat ia tinggal dengan ibunya. Yang sialnya lagi, sang ibu pergi seenaknya tanpa meninggalkan uang sepeser pun pada Gala, malah hutang bertumpuk perkara sewa flat. Hampir setiap bulan gaji Gala habis hanya untuk membayar hutang yang pernah ibunya tinggalkan. Belum lagi banyak alasan pada orang-orang yang entah dari mana saja untuk menagih sisa hutang.
Rasanya Gala bisa gila kalau seperti ini terus.
Mengeluh juga rasanya tak akan ada yang mendengar.
Di sini lah ia, berdiri di ambang pintu dengan menepuk pipinya yang pucat. Kulitnya memang putih, padahal ibunya tak seputih kulitnya. Malah terkesan seperti kulit kebanyakan kelompok Metro Barat. Entah dari mana asal putih yang ia miliki. Yang mana jua, bertambah lah satu kesialan yang ia punya. Pandangan sinis serta cemooh banyak dan makin bertambah seiring berjalannya waktu. Hingga Gala berusia dua puluh lima tahun sekarang.
Menggenaskan.
Jikalau namanya bisa ia tukar dengan kehidupan mewah, karena nama yang disemat ibunya ini banyak yang meramal memiliki arti besar—Galaksi Haidar—tapi ia tak merasa besar yang dimaksud. Mungkin ... besar kesialan yang mengelilingi hidupnya. Itu masuk akal.
Penopang lain dengan kekar badan yang ia miliki pun, tak mampu melunturkan kemalangan yang terus saja terjadi dalam hidupnya. Ia hanya mampu berdoa di setiap harinya, semoga sial yang ia jadikan nama belakang—Galaksi Haidar Sial—tidak terlalu banyak dan masih bisa ia kondisikan.
Harapnya.
Gala keluar buru-buru dengan sarapan roti sisa kemarin yang hanya dua kali gigit serta susu entah sudah berapa hari di kulkas. Tak sempat ia keluarkan apalagi hangatkan. Persediaan makannya hanya cukup hingga malam ini. Semoga saja Mr. Kim berbaik hati membayar gajinya yang sedikit itu. Gala ingin mengamuk tapi ia butuh kehidupan yang ditopang dari Mr. Kim di restorannya.
Di Metro Selatan, siapa yang mau memberinya makan siang gratis serta makan malam kalau Mr. Kim tengah berbaik hati? Walau bos tambunnya itu selalu garang, tak pernah bicara dengan nada santai, juga wajahnya selalu merah padam kalau bicara dengan Gala. Mungkin karena Gala ini sering sekali membuatnya berang. Akan tetapi, Mr. Kim masih memiliki sedikit hati.
Diperbolehkannya Gala makan siang dan membawa makan malam dari restoran yang ia miliki. Tak seberapa enak, tapi Gala bisa mengganjal perutnya dan malah membuat tubuhnya makin kekar. Gala rasa, hanya Mr. Kim saja. Tak mengapa, si Pipi Merah itu memakinya. Asal perutnya tak terus menerus perih menahan lapar.
"Pagi, Gala," sapa Mr. Richard tepat di ujung tangga. Dua kantung penuh belanjaan ada di dekapan pria paruh baya itu.
"Pagi," sahut Gala singkat. "Maaf, saya terburu-buru."
"Terlambat lagi?"
Gala mengedikkan bahu saja. Entah pertanyaan itu bermaksud mengejeknya atau sebatas tanya. Hampir setiap hari Gala merasa ia ditanya dengan pertanyaan yang sama. Dan satu lagi, "Sudah sarapan, Gala? Wajahmu makin pucat saja."
Tak mungkin Gala lupa bagian yang selalu Mr. Richard tanyakan. Seperti tak ada pertanyaan lain. Mungkin sebagian penghuni flat mengira kalau Mr. Richard sedikit banyak memberi perhatiannya pada Gala padahal bukan. Tiap kali Gala meluangkan waktu—dengan terpaksa—ada saja yang pria tua itu katakan.
Termasuk mengenai ibunya yang tak ingin Gala dengar.
"Lusa bantu saya bersihkan gudang," perintahnya.
Pemuda itu menoleh cepat sebelum benar-benar mengarah ke pintu. Ia tinggal di flat kecil yang mana berdesakan dengan para tetangga lain. Yang mungkin sebenarnya keadaan ekonominya sama. Hanya saja, Gala merasa dirinya paling sengsara. Mr. Richard pensiunan salah satu bank besar tapi sayangnya ia menerima uang pensiun sedikit sekali. Sisanya dimakan putranya yang bodoh itu. Sayangnya, Mr. Richard menyayangi putra bodohnya dengan amat.
Andai orang tua Gala sebaik Mr. Richard, mungkin dirinya akan membalas lebih dari sekadar merawatnya. Tapi sayang, ia hanya penikmat cerita bodoh bin tolol yang sering keluar dari pria yang tak jauh jaraknya itu.
"Ada upahnya, Gala. Kamu tenang saja."
Dalam hati, Gala merutuk lagi. Memangnya di wajah Gala yang tak seberapa ini tercetak sekali kalau ia tak memiliki uang? Tapi keping koin serta beberapa lembar yang Mr. Richard beri pada Gala, bisa ia pergunakan untuk menambah pembayaran uang sewa flat pada Nyonya Milly.
"Baik, Mr. Richard. Pulang kerja saya bantu," katanya buru-buru. Tak mau mengesankan diri ia butuh sekali uang walau matanya mendadak cerah. Secerah matahari pagi ini. Lalu ia menutup segera pintu di mana mengarah pada samping gedung flat yang ditinggalinya, juga terparkir mulus sepeda bututnya. Harta berharga yang ia miliki kini.
Diembuskannya napas panjang.
"Come on, Gala. Hari ini akan menjadi hari yang panjang."
KAMU SEDANG MEMBACA
DICE
Fantasy'Satu dadu meluncur, hidup kalian taruhannya.' Pendar itu nyata, senyata hidup Gala yang berantakan. Sendirian dan mengutuk siapa pun yang membuat dirinya ada di tengah kejamnya Metro. Hingga ia bertemu takdirnya. Di mana satu per satu mulai terlih...