70. BERGOSIP

50 13 1
                                    

KALIAN BISA BACA CERITANYA YANG LEBIH LENGKAP DI KARYAKARSA, KBM DAN INNOVEL.

PLAY BOOK STORE AZEELA DANASTRI SUDAH KENA TAKE DOWN UNTUK KECINTAAN AZEELA/ThereAD YANG MAU PELUK BUKUNYA BISA BELI DI KARYAKARSA ATAU KE 082123409933

Radjini sejujurnya gelisah. Ucapan dari ibu mertuanya benar adanya. Bagaimana mungkin keluarga Marwan seterbuka itu menerima Radmila yang sudah jelas-jelas pernah membuatnya trauma atau mungkin saja memang keluarga itu sangat baik kepada semua orang yang meminta bantuan.

Radjini yang sedari tadi menidurkan Niha, kini duduk terjaga di ranjang kecil sang putri. Ia pun menoleh pada daun pintu yang terbuka dari luar.

"Ada apa, Ma?" tanya Radjini begitu Asparini muncul.

"Kamu nggak heran, Mila nggak kelihatan batang hidungnya dari tadi?" tanya wanita tua itu setengah berbisik.

"Curiga sih. Jini aja, gelisah ini sebenarnya. Kenapa ya, dia molor di sana? Apa benar, mau memata-matai Jini?"

"Bisa jadi, sih. Orang iri," balas Asparini.

"Iri? Siapa yang iri?" tanya Radjini seraya meninggalkan ranjang kecil itu dan keluar.

"Itu istrinya Marwan."

"Kenapa Bu Sukanti, iri?"

"Nggak tahu, bisa jadi karena kehidupanmu sekarang sudah membaik dan malah bisa beli rumah di depan rumahnya pula dan lebih besar lagi rumahmu ini."

"Ah ... jangan begitu, Ma. Nggak mungkin Ibu begitu. Mereka itu hanya terlalu baik. Hanya saja, yang bikin heran Jini itu satu."

"Apa itu?" tanya Asparini penasaran.

Radjini menghela napas panjang. "Mila itu 'kan, nggak gila. Kok, mereka mau tampung?"

"Memangnya harus gila dulu baru mereka mau terima?"

"Nggak gitu juga, sih. Cuma selama yang Jini tahu, nggak ada tuh, orang lain yang mereka bantu selain Jini. Apa mungkin Pak Marwan nampung ODGJ lainnya, ya?"

Asparini dengan gemas mencubit pipi tirus Radjini yang sudah mulai terlihat lebih berisi sekarang. "Hush, emang rumah depan itu, penampungan?! Lagian juga, mama heran kenapa nggak ada Pak RT yang ke sana. Padahal ada perempuan asing, tuh, nongkrong di teras rumah warganya, ngopi syantik di pagi hari."

"Lah, yang jadi RT itu 'kan, Pak Marwan."

"Eh, seriusan?" Asparini melongo.

Radjini mengangguk dan menyicip pisang goreng buatan mertuanya. Mereka berdua bergosip ria seraya duduk di teras depan.

"Lah, yang selamatin Jini dari amukan warga malah sampai bawa Jini ke dokter, ya mereka itu."

"Waduh, Mama dosa banget tadi nuduh yang nggak-nggak." Asparini menepuk-nepuk mulutnya yang bergincu merah pelan.

Radjini mengangguk setelah meneguk teh manis. "Memang," jawabnya enteng, lalu mencolek tangan ibu mertuanya. "Eh, tapi, tadi Jini juga sempat mikir gitu, sih. Berarti Jini dosa juga, kali ya, Ma?"

"Halah ... kamu ini, ya wajar kamu mikir begitu. Tetap mencurigakan loh, kenapa perempuan itu ada di sana." Asparini menunjuk sengit ke arah rumah Marwan. "Waktu jadi istri Agha aja, sama sekali nggak mau kenal sama Niha. Pulang larut malam dan pergi pagi sekali. Lebih sering pulang ke apartemen dan rumah orang tuanya daripada rumah suaminya. Lah, sekarang, dia malah tinggal di rumah orang lain. Ada kepentingan apa, coba si Mila sama keluarga Marwan?"

Hati Radjini mencelos mendengar hal itu. Pantas saja Agha terlihat membenci Radmila. Padahal setahunya dulu, Agha terlalu cinta pada Radmila hingga mengamuk saat ditinggalkan dan kembali menjalin hubungan begitu mereka kembali bertemu. Mungkin, akan berbeda cerita jika kakaknya itu mencintai Niha dan memperlakukan seperti darah daging sendiri. Kemungkinan besar Radjini saat ini pasti akan tidak dipedulikan.

"Jadi dulu zonk?" gumam Radjini. "Tapi, kalau Si Mila andai nih ya, andai loh. Dia sayang sama Niha. Bang Agha pasti nggak akan ajak Jini makan ke roti cane terus bawa pergi Jini begitu saja."

Asparini menatap menantunya hingga dahinya berkerut. "Apa sih, maksudmu? Nggak ada, andai-andai! Jangan ngadi-ngadi, ya. Nggak boleh mikir aneh-aneh. NGGAK BO LEH OVER THIN KING, ARE YOU UNDERSTAND?!"

Asparini pun menghela napas panjang hingga kedua bahunya pun merosot dengan wajah memelas dirinya menatap menantunya itu dengan perasaan bersalah. "Jini, jangan mikir yang belum terjadi. Apapun yang terjadi, hanya kamu yang Agha cintai. Tanamkan itu dalam benakmu, ya? Mainsetmu, harus diubah, mengerti?" Melihat Radjini yang masih terdiam dan kini justru menunduk, Asparini semakin takut. Ia takut jika menantunya akan memilih untuk kabur lagi, Asparini meraih tangan Radjini dan meremasnya lembut. 

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang