Chapter 112 - Kematian Beni

28 3 0
                                    

Di rumah sakit Medika Farma. Kayla sedang duduk di samping ranjang Beni. Sementara Joshua tampak berdiri di sampingnya.

Beni sudah siuman dari koma. Kayla dihubungi oleh pihak rumah sakit untuk segera datang. Beni tak memiliki waktu lagi.

"Kayla, Papa minta maaf padamu. Papa dibutakan oleh wanita itu sampai mengusirmu dari rumah."

Beni bicara dengan selang oksigen yang masih bertengger di hidung dan mulutnya. Matanya memutar sayup ke arah Joshua setelah bicara seperti itu pada Kayla. "Aku titip Kayla padamu setelah aku pergi," lirihnya.

Joshua hanya mengangguk pelan menanggapi. Tangannya meremas satu bahu Kayla. Wanita itu menangis melihat Beni sekarat.

Mata Beni menoleh ke arah pintu ruang ICU di mana dirinya berbaring. Rain sedang berdiri memandangi dari sana. Senyum berkembang di bibir Beni saat Rain menatap dari kejauhan.

Layar monitor Electrodiogram mulai menunjukkan garis lurus. Beni mengalami kejang di akhir.

Rain tampak panik melihatnya. Namun, dia masih saja berdiri di tempat.

"Papa!" Kayla menjerit melihat sang ayah menghembuskan napas terakhirnya. Dipeluk tubuh pria tua itu dengan punggung yang bergetar dalam tangis.

Joshua berusaha membuat sang istri tenang. Para dokter dan perawat segera masuk untuk mencatat waktu kematian dan mengurus jenazah Beni.

Ekor mata Joshua melirik ke arah Rain. Kenapa pria itu hanya berdiri di ambang pintu? Apakah dia tak mau melihat Beni untuk terakhir kalinya?

"Papa! Jangan tinggalkan Kayla! Papa bangun!" Kayla tak kuasa menahan tangisnya saat Dokter Mike menutupi jenazah Beni dengan kain putih. Sang ayah sudah berpulang. Kini dirinya sudah benar-benar tak memiliki siapa-siapa lagi.

"Kay, kumohon tenangkan dirimu. Pikirkan juga bayimu. Iklaskan Papa. Kumohon tenanglah," ucap Joshua seraya memeluk Kayla dengan perasaan cemas.

Sang istri tak kunjung berhenti menangisi kematian Beni. Joshua memutuskan membawa Kayla meninggalkan ruangan dingin itu.

Mungkin sang istri bisa lebih tenang jika berada di luar lebih dulu, pikirnya.

Rain masih berdiri di ambang pintu. Hingga saat Joshua dan Kayla melintas, dia hanya terdiam dengan tatapan sendu.

Joshua melempar tatapan sinis pada Rain saat melintas. Dia buru-buru membawa Kayla pergi. Meski tampak acuh, tapi dari rahut wajahnya Rain sangat sedih atas kematian Beni. Tentu saja.

"Tuan Muda, Presdir menitipkan ini pada Anda." Jeremy, pengacara Beni itu menghampiri Rain. Dia menyodorkan sebuah berkas pada pria dengan stelan hitam di hadapannya. Bibirnya tersenyum pahit saat mata Rain menatap.

Sebuah berkas, entah apa isinya. Rain segera memberikan berkas itu pada Emanuel. Sementara dia bergegas menghampiri brankar di mana jenazah Beni terbujur kaku.

"Anda sudah melakukan banyak kejahatan. Semoga Tuhan mengampuni Anda," ucap Rain seraya berdiri di samping jenazah Beni. Matanya menatap lirih pada wajah pucat pasi itu. Tak bisa disangkal, hatinya tersentuh dan bergetar.

'Rain, aku ingin kamu bisa menerima semua warisan dan aset-aset keluarga Danuarta. Kamu adalah pewarisku. Group Metro membutuhkan dirimu. Kumohon, Rain.

Jadilah Pemimpin Group Metro dan teruskan kerajaan bisnis Papa. Seberapa pun kamu membenci pria tua ini, aku tetaplah papamu. Maafkan aku untuk semua masa sulit yang kamu lalui.'

Rain menjatuhkan wajahnya usai membaca berkas yang diberikan oleh pengacara Beni.

Sang ayah memintanya untuk memimpin Group Metro setelah dia tiada.Beni juga memohon maaf padanya. Ternyata dia tak sekuat dan se-arogan itu. Buktinya, dia menitikan air mata usai membacanya.

MEMBAKAR GAIRAH (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang