Terlahir sebagai anak bungsu saja sudah cukup membuatnya merasa hoki. Selalu ada orang-orang di sekelilingnya yang memberi pertolongan. Kakak tertuanya, Ci Erlis, adalah pelajar serius yang sering membantunya dengan pelajaran-pelajarannya di sekolah. Namun, karena Ci Erlis selalu tenggelam dalam bacaan maupun tugas-tugas sekolahnya, apalagi karena usia mereka terpaut lima tahun, Denise lebih akrab dengan Ci Felice. Apalagi setelah Ci Erlis mendapat beasiswa dan belajar di Jepang setahun yang lalu. Ci Felice-lah satu-satunya teman berbagi keluh kesah dan ketidakpuasan akan peraturan-peraturan yang dibuat Papa dan Mama.
Ci Felice sangat berbeda dengan Ci Erlis. Ia sama sekali tidak ambisius. Nilai-nilai ulangan di sekolahnya biasa-biasa saja. Denise merasa lebih cocok dengan Ci Felice. Ci Felice punya telinga yang tidak pernah bosan mendengar keluhan-keluhannya, seperti sumur tak berdasar yang siap menampung semua luapan emosinya.
Papa dan Mama menyadari kalau Ci Felice tidak tertarik untuk belajar. Mereka dengan bijaksana mengarahkannya masuk ke sekolah kejuruan. Kebetulan ada sekolah kejuruan di sekolah Denise. Ini memudahkan Papa yang mengantar mereka setiap pagi.
Di SMP, Denise menyadari segalanya tidak semudah di SD. Ia harus bekerja keras untuk mendapat nilai yang bagus. Tapi yang lebih memusingkan lagi ialah, ternyata ia juga harus bekerja keras untuk mendapat teman!
"Ci, bagus nggak?" Ci Felice mengamati pergelangan tangannya. Sebuah jam Swatch melingkar di sana. Talinya terbuat dari plastik bening yang bergambar matahari emas dalam bentuk abstrak. Jarumnya berbentuk petir berwarna perak. Summer edition.
"Berapa?"
"Tiga ratus ribu."
"Tiga ratus ?! Mahal amat !"
Sebenarnya ada model-model lain yang harganya lebih murah, tapi Denise sengaja memilih yang lebih mahal. Teman-temannya di sekolah tentu tahu barang bagus. Dengan bangga Denise membiarkan Ci Felice mengagumi jam itu. Kemudian ia menceritakan pengalamannya menaiki taksi, pergi ke Plaza Indonesia dan berbelanja sendiri. Semuanya ia biayai dengan tabungannya. Ia merasa benar-benar dewasa, bahkan lebih dewasa dari Ci Felice.
"Ah..jam yang dari Mama juga bagus kok." Sahut Ci Felice. Ia memang mudah puas. Padahal jam yang dibelikan Mama modelnya kuno.
"Ya sudah, punyaku buat Cici saja."
"Hah ? Benar nih?"
"Iya, aku nggak mau." Jam kuno dari Mama tidak akan bisa memukau teman-temannya di sekolah. Tapi itu cukup untuk Ci Felice. Ci Felice pernah bercerita padanya, kalau teman-teman di sekolahnya kebanyakan datang dari keluarga yang tidak terlalu berada. Mereka belajar di sekolah kejuruan supaya kelak bisa langsung bekerja setelah lulus. Walaupun bernaung dalam satu gedung, teman-teman Denise sangat berbeda dengan teman-teman Ci Felice, mereka datang dari keluarga menengah ke atas yang mapan.
Kupingnya panas kalau tidak sengaja mendengar teman-temannya menghina sekolah Ci Felice. Suatu hari, bahkan, ada yang dengan berani mengejeknya langsung di muka.
"Cici kamu sekolah di sana?"
"Iya, memang kenapa?"
"Itu 'kan sekolah pecun." Denise memandang Ferry dengan mata nanar. Berani-beraninya dia mengata-ngatai Ci Felice pelacur !
"Yee...mewek. Hahaha." Denise dapat merasakan air matanya mulai menggenang. Diraihnya kotak pensil yang ada di meja yang paling dekat dengannya dan ia pun melemparnya ke arah Ferry. PLAKK!! Kotak pensil itu ditangkis dengan tangan oleh Ferry dan terpental. Isinya berantakan. Sonya terpekik dan buru-buru memunguti isi kotak pensilnya. Ferry memandangnya terkejut. Denise menantikan tindakan Ferry berikutnya. Tapi kemudian ia melengos pergi. Denise membusungkan dadanya dan mengangkat dagu. Siapa takut?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Mana Negeriku
Historical FictionHi Guyz, Does my name ring a bell? Hopefully yaaa.. Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman. Ini pertama kalinya saya posting naskah di Wattpad. Berbeda dengan novel yang begitu diterbitkan lepas hubungan, di Wattpad, saya te...