Apa Gunanya?

475 47 10
                                        


2002

Yunus Deng

Makin susah saja berbisnis di Indonesia. Setelah ketidakstabilan politik yang mengusir calon-calon investor dan buyer dari luar negeri, sekarang pemerintah jadi musuh usahawan. Mantan Menteri Tenaga Kerja, Bomer Pasaribu, mengeluarkan peraturan yang mencekik dunia usaha.*43) Walaupun ia sudah mantan, tapi peraturan yang dibuatnya masih berlaku.

Sebagai bekas pemimpin serikat buruh, memang sudah diduga ke mana dia akan berkiblat. Tapi tidak ada yang mengira kalau ia terang-terangan mengesampingkan kami, para pengusaha. Keputusan yang dikeluarkannya meningkatkan rasio pesangon PHK dan uang penghargaan masa kerja kepada buruh yang berhenti. Padahal, beberapa tahun belakangan ini, upah minimum sudah dinaikkan berkali-kali.

Di kota besar seperti Jakarta, banyak orang desa mengadu nasib dan menjadi buruh. Mereka dijadikan senjata rahasia politikus. Pion-pion dalam catur politik.

Ah...seharusnya seorang politikus memikirkan nasib bangsa ini dengan pikir panjang. Lebih dari pendukungnya, lebih dari dirinya.

Dalam jangka panjang, ini akan membawa petaka bagi sektor industri secara keseluruhan. Upah minimum yang tinggi membuat ongkos produksi meningkat dan perusahaan berbasis ekspor seperti kami kehilangan daya tarik di pasar internasional. Kebijakan baru ini tentunya juga membuat calon investor berpikir dua kali untuk menanam uangnya di sini. Bukankah tenaga kerja Cina jauh lebih murah ? Vietnam tidak terlalu jauh dari Indonesia. Negara yang relatif baru selesai perang itu haus akan kemakmuran. Thailand, iklim politiknya yang stabil membuatnya dilirik investor-investor besar dari Jepang.

Fu bu guo san dai. Pepatah Cina mengatakan kalau sebuah bisnis biasanya habis pada generasi ketiga. Generasi pertama, susah payah membangun dari nol. Generasi kedua, belajar hidup keras dari orang tuanya. Generasi ketiga, lahir kaya dan hanya tahu cara menghabiskan uang. Sewajarnyalah mereka yang kebagian tugas menggulung tikar. Tapi nyatanya, aku dan Koko harus menyaksikan runtuhnya usaha ini hanya dalam satu generasi.

Pedih rasanya, seakan melihat anak sendiri yang tadinya sehat dan kuat jadi sakit-sakitan.Mau menolong pun tidak bisa.

Aku tidak bisa melihat masa depan di negeri ini. Aku ingin menikmati masa tuaku dengan damai, tanpa diusik kekhawatiran duniawi. Aku mau membaca sastra klasik, belajar bahasa baru, bermain piano, menulis buku. Di saat santai, aku mau menyusuri pantai, menyeruput kopi di beranda sambil membaca buku sampai tertidur.

Tanpa hiruk pikuk kendaraan bermotor, tanpa perlu memagari rumah tinggi-tinggi, tanpa perasaan bersalah setiap kali tidak mengacuhkan pengemis, karena tidak tahu mana yang benar-benar butuh dan mana yang mengirim uang ke desa untuk membangun rumah dan membeli sawah.

Aku ingin tinggal di tempat di mana semua orang sama, bisa bertukar pikiran dengan fair . Di mana setiap individu, tanpa terkecuali, bisa mencapai tujuannya dengan mengikuti peraturan, bukannya harus melanggar peraturan dulu supaya tujuannya tercapai.

Anak-anakku sudah di luar negeri semua. Kalau bisnis sudah tutup, apa gunanya aku tinggal di sini lagi? 

------

Temans, bab kali ini pendek karena saya merasa perlu mengangkat tulisan teman saya di Facebook di screenshot di bawah ini ketika dia hunting foto di Kalijodo skate park. Baru kemarin dia posting. 

Ah...sedih..beginilah potret warga keturunan di Indonesia, kalau dihina-hina ya udah telen aja. Ngadu sama aparat, ya..tanggapannya gitu-gitu aja..percis kan sama cerita saya di bab2 awal, ketika Denise ngadu sama polisi dia hampir dirampok dan cuma dibales, ah, itu cuma lagi sial aja (inspired by true story sama temen saya yg digrepe2 di bus)

Ya begitu deh.. seperti yg selalu ditanamkan orang tua saya..udahlah gak usah cari ribut. Kita itu Cina tau! Mau ribut juga gak bakal menang!! Cari urusan aja!! Udah gak usah macem2!!

Bukannya mau provokasi atau gimana, cuma saya geregetan aja kalau ada yg bilang, orang Cina mau menguasai Indonesia dengan paham komunis mau menekan pribumi bla bla....adudududududuuu........muluk banget itu mah! Biar AHok jadi gubernur kek apa kek..gak pernah terlintas di pikiran kami menguasai Indonesia..mental kami mental minoritas kok, mau dikatain kafir, babi, cina, diperhalus pakai Tionghoa kami terima aja...nggak ada bedanya...yang kami mau cuma kami diperlakukan manusiawi. Hak-hak asasi diakui. Itu aja.

Bagaimana gak sedih teman...ketika anak saya lahir, untuk bikin Akte Lahir masih diminta surat ganti nama  Engkong saya (sebagai bukti WNI) yang sudah meninggal lebih dari 15 tahun sebelumnya. Padahal orang tua saya dan orang tua suami, ke-empat kakek nenek anak saya ini, sudah lahir di Indonesia semua. 

Di luar negeri kalau ditanya dari mana, apa pernah saya jawab dari Cina? Lah ngomong Cina aja gak bisa, pake sumpit aja mesti belajar, kalau mudik ke Jakarta yang saya cari makanan Sunda. RRC mau bangkrut kek mau gempa kek, saya paling ooo...no attachment. Attachment saya ke mana? Ya ke bumi pertiwi lah!

..entahlah...

Kami mesti bagaimana lagi ? 

Kami mesti bagaimana lagi ? 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*43 )The Political Economy of Reform: Labour After Soeharto by Chris Manning, Australian National University

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*43 )The Political Economy of Reform: Labour After Soeharto by Chris Manning, Australian National University

https://sydney.edu.au/arts/indonesian/docs/USYD-IS_Manning_LabourAfterSoeharto.pdf

Gambar laki2 di tepi danau diambil dari https://i.ytimg.com/vi/C-u-MYy8M-0/hqdefault.jpg

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang