"Coba tunjuk si A Bun. Anak kamu." Bhiksu itu memberi perintah sekali lagi. Ajaib! Tanaman itu berhenti tepat di depan A Bun Cek, ia tampak terkejut. Denise masih melongo ketika tanaman itu dengan tepat menunjuk A Em, Papanya, dan Ko Halim. Ia takjub. Mau tidak mau ia percaya arwah A Mah menghinggapi tanaman itu. Selanjutnya keluarga boleh bertanya pertanyaan macam-macam, ini sebagai sarana komunikasi dengan A Mah yang meninggal mendadak.
Esoknya, langit cerah tanpa segumpal awan pun. Denise melemparkan uang-uangan kertas ke jalan dari jendela mobil. A Mah membutuhkannya untuk menyogok dewa penjaga pintu surga. Kertas-kertas ini meninggalkan serbuk-serbuk emas di telapak tangannya, berkilauan seperti kristal, memantulkan cahaya matahari pagi yang menyertai mereka menuju krematorium Cung Lin Tze di Cilincing.
Ketika peti A Mah menghilang ke dalam kompor raksasa di krematorium, A Em sesegukan. Mama pun terbawa, ia berulang kali menyedot hidung. Denise merasakan sebongkah pilu dari dadanya naik, mencekik lehernya. Tiba-tiba saja ia sudah meraung-raung.
"A MAH...A MAH.!!!"
"Sshhh..it's OK, it's OK. A Mah sudah bahagia di surga." O O A Lien memeluk dan menepuk-nepuk dadanya.
"A Mah...A Mah...nnggg...hk hk...A Mah...jangan mati !!"
Sampai lima menit yang lalu Denise bahkan tidak merasa kalau A Mah-nya sudah meninggal. Tapi begitu pintu oven berkelontang ditutup, ia panik. A Mah yang diingatnya begitu hidup, begitu bersemangat. Sekarang semuanya terbakar hangus. Semuanya! Tidak akan ada yang tersisa dari A Mah. Cita-cita A Mah yang tidak kesampaian untuk jadi dokter, surat cinta misterius untuk A Mah....begitu banyak hal yang masih belum selesai.
"A Mah...A Mah...maafin Sun-sun A Mah..ini salah Sun-sun...hk hk hk..ngg.." Ini semua gara-gara dia berdoa minta pulang ke Indonesia! Karena ini memang cara paling ampuh untuk membuat Papa memperbolehkannya pulang. Hawa panas dari kompor menyapu pipinya.
"A Mah...ini semua gara-gara Sun-sun A Mah..." Kasihan A Mah. Kulitnya pasti berkerut-kerut seperti ayam yang matang di wajan penggorengan.
"Sun-sun..it's OK. A Mah sudah tua sekali. Ini bukan gara-gara kamu."
O O tidak tahu apa-apa.
"A Mah.."
Maafkan aku A Mah. Akulah yang membunuh A Mah.
Yunus Deng
Mama menghembuskan nafasnya yang terakhir. Begitu mendadak. Kami seperti tersambar petir. Tapi Mama benar-benar hoki. Apa gunanya air mata dicucurkan? Ini peristiwa lumrah, bagian dari siklus alam. Justru kita harus bersyukur karena Mama tidak mengalami hari-hari penuh derita di rumah sakit. Usianya tujuh puluh lima tahun. Dia telah mengalami semua yang bisa dialami dalam hidup. Tumbuh dewasa, menikah, punya anak, punya cucu. Hidupnya sudah full.
Sun-sun bersikeras kalau doanya yang membunuh Mama. Menurutnya, Tuhan membuat Mama meninggal supaya dia bisa punya alasan untuk pulang. Ah...dia itu ada-ada saja. Tuhan adalah figur yang terlalu berkuasa, terlalu powerful untuk menuruti doa seorang anak remaja yang ingin dunia berjalan sesuai keinginannya.
Orang selalu menebak kalau agamaku Kristen, karena namaku Yunus, seperti nama seorang nabi di dalam Alkitab yang dimakan ikan selama tiga hari tiga malam. Padahal aku bukan Kristen, bukan juga Buddha seperti yang tertera di KTP. Ada kolom agama yang HARUS diisi suka atau tidak. Buddha mungkin adalah yang paling dekat dengan kehidupan keluarga kami. Walau kami tidak pernah pergi ke Vihara untuk berdoa, tapi kami selalu memanggil bhiksu untuk melakukan upacara kematian.
Ketika pemerintah Indonesia memberikan pilihan, kembali ke Cina atau tinggal di Indonesia, orang tuaku memilih yang kedua. Sebagai konsekuensinya, kami harus mengubah nama kami. Yunus Tengga. Kedengarannya lebih Indonesia daripada Deng Ming You bukan?
Sun-sun mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti semua ini. Tuhan bukannya membuat Mama meninggal demi memenuhi keinginannya. Tuhan hanya membiarkan apa yang seharusnya terjadi, terjadi. Supaya manusia bisa belajar dan menjadi lebih bijaksana. Kalau tidak ada kematian, manusia tidak akan pernah belajar untuk mencintai sesamanya. Kalau tidak ada kerusuhan, bangsa Indonesia tidak akan pernah belajar untuk menerima kami. Antipati hanya akan terpendam dalam selubung Bhinneka Tunggal Ika yang dipaksakan.
Sekarang, setelah semuanya terjadi, barulah pemerintah benar-benar memikirkan tentang arti persatuan yang sebenarnya. Tentang kami, kaum minoritas yang selalu dinomorduakan.
--------
IKLAN
Ini gambar saya bikin sendiri. Charcoal pencil, gouache, black ink on rough art paper. Berdasarkan pengalaman saya kecele. Waktu suami dipindahkan kerja ke luar negeri, saya pikir hidup bakal glamor pesta2 di hotel berbintang, makan bareng pejabat dan artis jadi madam expat gituu..Ternyata oh ternyata...madam expat malah diundang ke...MacDonald!! Ho-oh!!
Orang pikir madam expat..kenyataan TKW...gak ada mbak, gak ada keluarga, mesti jadi babysitter, tukang masak, tukang cuci piring, binatu, cleaning service, anter jemput, semua dikerjain sendiri sampe jadi kucel bin lecek.
Yang ada malah diundang ke MacDonald hampir tiap minggu!! Ternyata merayakan birthday di MacD itu buat anak2 kecil tuh status banget gitu...udah dibujuk sm ortu-nya ayo di tempat yang lain aja..tetep gak mau...walhasil saya kalau wiken masuk keluar MacD!
Dan ada 20++ anak di kelas anak saya...sigh...
#NovelWanderWoman terbit 19 September 2016, Gramedia Pustaka Utama
Gambar tulisan "When someone you love..." diambil dari http://www.flokka.com/wp-content/uploads/2015/03/Bereavement-Quotes-4-1.jpg
Gambar Circle of season diambil dari http://www.emblibrary.com/EL/product_images/H1789.jpg
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Mana Negeriku
Fiksi SejarahHi Guyz, Does my name ring a bell? Hopefully yaaa.. Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman. Ini pertama kalinya saya posting naskah di Wattpad. Berbeda dengan novel yang begitu diterbitkan lepas hubungan, di Wattpad, saya te...