Bohong

2.7K 144 25
                                        


Mei Fang

Apa sih yang kurang dari hidup Sun-sun? Tinggal di rumah yang kokoh, dengan orang tua yang sehat, makan berkecukupan, sekolah di tempat yang baik, kenapa ia masih ribut menginginkan ini dan itu?

Memang kita hidup di jaman yang serba berkelimpahan, tapi itu bukan berarti kita harus memiliki semuanya bukan?

Dulu aku harus memompa air untuk mandi. Baju-bajuku tidak pernah baru. Semuanya warisan cici-ciciku. Sampai sudah bekerja dan punya pemasukkan sendiri pun, uang makan dari kantor kusisihkan untuk ditabung.

Aku tidak pernah mendidik anak-anakku untuk hidup enak. Uang jajan mereka kujatahi. Sejak kecil, kalau mereka minta ini dan itu, tidak pernah kami belikan kalau kami rasa barang itu tidak perlu. Manusia tidak akan pernah mendapat semua yang diinginkan dalam hidupnya, aku ingin anak-anakku belajar dari sejak kecil. Ada kekecewaan yang harus dihadapi, kekurangan yang harus diterima dengan sabar. Erlis dan Felice bisa menyerap dengan baik apa yang kami ajarkan, tapi tidak demikian halnya dengan Sun-sun.

Membesarkan anak yang satu ini, tidak semudah melahirkannya. Sejak pulang dari rumah sakit Sun-sun sudah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang ia mau. Bayi kecilku itu menangis sekencang-kencangnya hanya karena popoknya basah sedikit. Ia juga tidak akan berhenti berteriak sampai mulutnya disumpal botol susu. Untunglah kami menyewa baby sitter waktu itu. Kalau tidak, aku bisa gila dibuatnya.

Bayi yang rewel bisa diserahkan kepada baby sitter. Tapi remaja yang kepalanya sekeras batu, mau diapakan? Sun-sun mengorek tabungannya untuk membeli jam tangan. Felice yang memberitahuku. Aku sudah membicarakannya dengan Yunus. Kami sepakat untuk tidak menegurnya. Jam tangan adalah benda yang tidak berbahaya. Bukan narkoba, bukan rokok. Nanti, kalau tabungannya sudah habis untuk dibelikan tetek bengek yang tidak perlu, mungkin baru ia belajar apa maknanya 'membatasi diri'.


                                                           ------------------------------------------------

                                                           ------------------------------------------------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Din, dia kok main perintah gitu ya." Denise berbisik tidak lama setelah Karen dan dayang-dayangnya berlalu. Dinda cuma tertawa kecil, "Dia memang suka begitu. Mungkin karena di rumahnya kebanyakan pembantu."

"Memang kamu pernah ke rumahnya ?"

"Beberapa kali, urusan Gereja." Kening Denise berkerut. Komunitas eksklusif seperti apa sih Gereja itu ? Kok bisa memberikan karcis masuk ke rumah Karen semudah itu?

"Ada berapa pembantunya?"

"Yang aku tahu sih, tiga. Terus ada supir dua dan satu tukang kebun."

"Ya ampuunn.." Denise berdecak kagum. Ia semakin ingin pergi.

"Bagaimana kita pergi ke sana?"

"Kamu ke rumahku saja, nanti aku minta ayah antar kita ke sana. Aku sudah beberapa kali ke sana."

"Oke."

Sepulang latihan paduan suara, Denise ikut Dinda pulang ke rumahnya. Sampai sekarang, mereka masih suka membicarakan saat bertemu pertama kali di audisi paduan suara sekolah. Mereka kebetulan duduk bersebelahan waktu mengantri giliran diuji.

"Sudah pernah ikut paduan suara sebelumnya?" Tanya Denise pada gadis mungil di sebelahnya.

"Beberapa kali di Gereja. Kamu sendiri ?"

"Belum."

"Kok bisa tertarik ikut ?"

"Iseng." Denise tertawa melihat Dinda yang terperangahakan jawaban nakalnya. Bagi Denise, bergabung dengan paduan suara adalah kegiatan bersenang-senang. Cari teman baru, jalan-jalan kalau ada pertunjukkan dan bisa jadi alasan membohongi Mama kalau ia mau ngelayap kapan-kapan. 


Sebuah taman kecil yang penuh sesak dan tampak tidak terurus menyambutnya. Setiap tanaman di sana adalah pilihan ibu Dinda. Daun bawang untuk memasak, lidah buaya untuk rambut. Semuanya berguna walau buruk rupa.

"Denise, aduuuh...kamu tuh selalu deh..sini aku beresin rambut kamu dulu." Denise menurut saja ketika tangannya ditarik Dinda. Denise meringis menahan sakit setiap kali Dinda menarik sisir dan mengurai helai-helai rambutnya.

"Nah, sekarang lebih rapi "kan? Aku kasih sedikit gel rambut supaya rambut kamu lebih nurut."

Rambutnya tampak lebih berkilat sedikit setelah dilumuri gel. Ujungnya menyentuh simbol Armani Jeans di dadanya.

"Baju baru ya Nis? Beli di mana ?"

"Ah, nggak, ini punya Ci Felice. Minjem." Denise berbohong. Kemarin ia baru shopping di Plaza Indonesia. Ia tidak tega. Pakaian Dinda semuanya begitu sederhana. Sudah sering ia membohongi Dinda hanya karena tidak mau Dinda merasa risih berteman dengannya.

"Sudah siap ? Ayo kita berangkat."   

Gambar Ibu diambil dari http://rbk.h-cdn.co/assets/cm/14/50/1600x1066/548b66b53a04c_-_rbk-worried-woman-s2.jpg

Gambar T-Shirt diambil dari https://images-na.ssl-images-amazon.com/images/I/617VLOXyubL._UY550_.jpg

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang