Harapan yang Sengaja Dilupakan

414 47 2
                                    

Denise merasakan bibirnya bergetar dan sebongkah emosi naik dari dadanya. Ia menangis. Seandainya saja ayah Karen bukan orang Inggris, seandainya saja kulitnya coklat seperti ibunya, seandainya saja Karen tidak secantik itu, mungkin dia masih punya kesempatan.

"Karen..." Denise sesegukan..." dia itu...dari dulu..begitu cantik..begitu sempurna...begitu...begitu sombong." Air matanya terus meleleh, Karen yang diingatnya adalah gadis angkuh yang elit.

Novi mengangguk dan mulai ikut terisak juga,"Iya, dia memang sombong.. Arrogant bitch. , " Suaranya mendesis, "Tapi aku lebih benci pada orang-orang yang mencelakakannya." Novi mengusap air yang mengalir dari hidungnya dengan tissue, "Aku hanya berharap dia masih punya alasan untuk bersikap sombong."

Mereka terdiam beberapa lamanya, merenungkan nasib Karen yang entah bagaimana kabarnya sekarang.

"That was the best choice for her. Meninggalkan Indonesia, dan hidup di Inggris, yang jauh sekali. Mungkin waktu dan jarak bisa membuatnya melupakan masa lalu."

Novi kemudian mengeluarkan rokok dan memantik api. Denise tertegun, "Sejak kapan kamu merokok?" Novi menelengkan kepalanya sedikit, "Dulu Rita yang mengajariku. Tapi aku tidak suka. Sampai aku sampai di sini, dan bergaul dengan teman-teman kerja, baru aku bisa menyukainya." Denise mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajah Novi yang dulu selalu ceria dan sorot matanya yang jenaka kini lenyap sudah. Matanya bagaikan sumur di musim kemarau.

"Oh, ya..bagaimana kabarnya Rita?"

Novi mengangkat bahu sambil mengebulkan asap, "Tidak tahu. Hilang begitu saja." Wajah Novi tersamar oleh asap yang keluar dari mulutnya, sekarang Novi tidak ubahnya dengan Rita, bernafas dalam kabut-kabut putih.

" Wajah Novi tersamar oleh asap yang keluar dari mulutnya, sekarang Novi tidak ubahnya dengan Rita, bernafas dalam kabut-kabut putih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gembira menemukan teman lamanya, Denise jadi sering mengunjungi asrama Julie. Kadang-kadang Novi, Julie, Denise keluar bertiga. Mereka mencoba restoran-restoran baru, atau mencuri nonton beberapa film sekaligus secara beruntun. Ada sebuah bioskop yang bisa diakali karena tidak ada penjaga di pintu masuknya, hanya di loket karcis. Denise tahu ia 'bermain-main dengan api', kalau meminjam istilah Ci Felice. Satu temannya drop-out, yang satu lagi simpanan orang. Tapi yah..tidak ada pilihan bukan?

Ia hanya berjanji pada dirinya sendiri, dan juga pada Ci Felice, kalau ia tidak akan pernah terpengaruh gaya hidup mereka. Ketika Julie mengajaknya menindik pusar, ia menolak dengan halus, beralasan kalau takut sakit, dan ia juga tidak berniat mengenakan baju yang mempertontonkan pusar sehingga tidak ada gunanya menambah aksesori di situ. Ketika Novi menawarkannya rokok, Denise berbohong, mengatakan kalau ia sudah pernah mencoba dan tidak suka. Anehnya, bersahabat dengan orang-orang seperti ini justru membuatnya jadi rajin belajar. Seakan ada motivasi negatif yang mendorongnya untuk tidak menjadi seperti Julie dan Novi. Tapi di lain pihak, ia merasa bersalah. Seolah-olah memanfaatkan keduanya untuk mengisi kesepian, tanpa benar-benar menganggap mereka teman yang sehati.

Keakrabannya dengan Julie membuat Nhat berangsur-angsur menghindarinya. Tapi Denise tidak peduli. Biarpun Julie dan Novi bukan teman ideal, setidaknya mereka lebih baik daripada om-om gendut ceriwis. Ia tahu Nhat cemburu, Nhat membuatnya terlihat jelas oleh siapa pun. Tidak jarang kalau mereka sedang bekerja di dapur, Nhat sengaja menyenggolnya keras-keras. Kalau ditegur, ia hanya menjawab ketus, "Sorry, tidak kelihatan." Kalau sudah begitu biasanya Bob akan mengedipkan mata pengertian kepadanya, kedipan yang sudah Denise anggap sebagai bahasa sahabat.

Novi kadang-kadang berkunjung ke rumah O O dan menginap di kamarnya. Berbeda dengan Julie, Novi lebih mudah diterima Ci Felice. Kenyataan bahwa Novi adalah teman lama, dan fakta bahwa ia putus sekolah karena keadaan, membuat Ci Felice bersimpati padanya. Kalau sedang menonton DVD berdua, window shopping, dan berenang bareng, Denise lupa ia ada di luar negeri, jauh dari keluarga dan teman-temannya. Novi membuat hidupnya ceria.

Novi, yang sudah lebih lama tinggal di Amerika, jauh lebih pandai menggunakan komputer daripada dirinya. Novi mengajarinya bagaimana membuat foto album di internet, bagaimana membuat tampilan yang cantik untuk makalahnya, bagaimana mengakali komputer yang sedang ngadat, sampai Denise terkagum-kagum, "Belajar dari mana?"

Novi menjawab acuh, "Waktu sekolah di tempat yg isinya aneh-aneh itu lho.."

"Masa mereka mengajari kamu semua ini? Hebat sekali sekolah itu?"

"Yah..mungkin karena hobi juga sih, aku suka tanya-tanya teman, suka pinjam komputer mereka."

"Aku tahu!" Denise melompat berdiri dan mencengkeram lengan Novi kuat-kuat, "Kamu sekolah komputer saja! Aku yakin kamu berbakat!" 

Novi mengernyit dan mencemooh, "Sekolah? Naah...not for me.."

"Tapi kamu 'kan suka? Maksudku bukan sekolah biasa, tapi semacam kursus komputer? Nanti kamu bisa jadi programmer, atau graphic designer? Kamu nggak usah capek mondar-mandir mengantar makanan orang dan bergantung pada tip lagi!"

Novi lagi-lagi tertawa, "Untuk apa? Apa kamu pikir aku tidak puas dengan kehidupanku yang sekarang?"

Denise menatapnya bingung, "Aku...bukan maksudku...I mean...apa kamu mau jadi waitress seumur hidup?" 

Novi menghela nafas dan menjawab, "Nis, kalau kamu sudah pernah mengalami apa yang aku lalui........kamu akan lupa bagaimana caranya bermimpi jadi ini dan itu." Novi menepuk bahunya dan tersenyum lebar, "Aku sudah berterima kasih bisa hidup tenang, bisa punya gaji untuk makan. Aku jauh beruntung dari banyak orang, Nis...dari Karen misalnya.."

Karen. Nama itu langsung membuat mereka berdua terdiam.

"Sudahlah, nggak usah pusing-pusing memikirkan masa depanku. Sini, aku ajarin kamu power point saja."

Denise tidak bisa berkomentar lagi. Ia membiarkan Novi mengutak-atik komputernya. Sesekali ia mencuri pandang, kaca mata Novi memantulkan icon-icon di desktop. Dahinya cerdas, matanya tajam, bibirnya mengerucut serius. Oh... betapa ia bisa membayangkan Novi bekerja di dalam gedung pencakar langit. Begitu banyak kemungkinan terbentang di depan, tapi Novi menolak untuk merentangkan tangannya ke sana.


--

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

--

Gambar Hope diambil dari https://billmuehlenberg.com/res/uploads/2016/10/hope-1.jpg

Gambar gadis merokok diambil dari https://billmuehlenberg.com/res/uploads/2016/10/hope-1.jpg

Gambar gadis membaca computer diambil dari https://d2v9y0dukr6mq2.cloudfront.net/video/thumbnail/N_-wj6-wx/asian-woman-girl-working-concentrated-behind-laptop-computer_eukvo2wog__S0000.jpg

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang