I Don't Care Anymore

480 45 11
                                    

Edward Tjandra

That was it, Nis. Aku akan meninggalkan negeri ini. Kembali ke Amerika. Arif Yuliadi adalah pengusaha kelas kakap, lulusan luar negeri, pintar luar biasa dan namanya diperhitungkan pemerintah. Can you imagine? Orang seperti dia, begitu berpendidikan dan punya pengalaman segudang, masih berpikiran sesempit itu?! Bisakah kamu bayangkan, betapa banyak sebenarnya, orang-orang di sekeliling kita yang berpikiran seperti itu?

Dunia bisnis hanya mengenal hitam dan putih. Untung atau rugi. Kalau ada sebuah negara dengan peraturan rumit dan sumber daya manusia yang tidak bisa diharapkan, apalagi infrastruktur-nya tidak mendukung, semua investor pasti akan angkat kaki. Tidak peduli dia pribumi atau tidak, orang luar negeri atau dalam negeri!

Aku tahu teman-teman Papa yang punya usaha di luar negeri, tapi tetap kembali ke rumahnya di Indonesia untuk berlibur. Itu karena mereka memisahkan bisnis dan rasa cintanya terhadap kampung halaman! Bukannya karena mereka tidak peduli! Aku punya banyak teman, pelajar pribumi, anak-anak pejabat, pengusaha, orang Jawa, Batak, Padang dan masih banyak lagi, yang memilih untuk menetap di Amerika. Apa itu berarti mereka tidak cinta Indonesia?! NO!! Itu karena ada kesempatan hidup yang lebih baik di sana! Kesempatan, Denise! Itu yang orang cari. Kesempatan bisnis, kesempatan belajar, kesempatan berkembang! Itu hukum alam, bukan sekedar sentimen ras!

Hah...jadi aku pikir...sudahlah. Biarlah orang-orang seperti Arif Yuliadi, menjadikan negara ini seperti keinginan mereka. I don't care anymore.

   Denise melelehkan air mata, ia bisa melihat bayangannya yang sedang menangis di mata Ko Edward yang berkaca-kaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Denise melelehkan air mata, ia bisa melihat bayangannya yang sedang menangis di mata Ko Edward yang berkaca-kaca. Ia yang meminta Ko Edward mengajaknya ke sini. The Cave, tempat nongkrong terbaru di pusat kota. Sebuah restoran yang dibangun di atas danau buatan dengan cahaya remang-remang. Ia tahu ia akan menangis, tapi ia tidak bisa menebak apa reaksi Ko Edward. Marah? Terluka? Tersinggung?

Mereka duduk merapat. Suara band yang agak keras memberikan privasi dari meja sekeliling mereka.

"Tidak adakah lagi kesempatan untukku, Nis?" Denise menggeleng dan melepaskan berlian yang melingkari jarinya.

"Kamu sudah memikirkannya baik-baik?" tanya Ko Edward, suaranya bergetar. Denise mengangguk. Sudah tidak terhitung berapa malam yang ia habiskan menatap tumpukan surat-surat undangan di kamarnya.

"Baiklah. Aku mengerti." Denise mengangguk. Ia sudah tidak punya kata-kata lagi untuk Ko Edward. Semuanya, pikirannya, perasaannya, sudah ia tumpahkan malam itu. Dengan jujur ia katakan bahwa ia ingin menikahi Edward yang dulu. Edward yang begitu penuh ambisi untuk negara ini. Edward yang ingin menolong bangsa ini bangkit dan berjaya. Bukan Edward yang sekarang.

Lagu Agnes Monica mengisi kesunyian di mobil yang membawa mereka pulang. Suara penyiar radio yang riang benar-benar tidak sesuai dengan suasana hati mereka berdua. Denise memejamkan mata. Ia mencoba mengingat semuanya. Bau mobil ini, lirik lagu, apa yang dikatakan sang penyiar, ini adalah momen yang penting dalam hidupnya. Ini adalah terakhir kalinya ia diantar pulang oleh pemuda yang bernama Edward Tjandra. Kemudian ia melirik diam-diam ke arah Ko Edward, berusaha merekam profilnya yang tampan di benaknya. Ia ingin mengingat kelak, betapa beruntungnya dirinya, pernah bertunangan dengan seorang pemuda yang begitu dicintai banyak orang.

Tiba-tiba Ko Edward membuka kaca dan merogoh kantong bajunya. Plung! Anak gembel di depan jendela Ko Edward bingung melihat sebuah benda bercahaya di dalam piring kalengnya. Tapi kemudian ia berteriak senang, "Makasih, Om!" dan berlari pergi.

Denise tersentak, "Itu bukannya cincin yang tadi aku kembalikan?" Lampu berubah hijau. Ko Edward menginjak gas.

"Aku tidak berhasil menolong bangsa ini, Nis. Tapi setidaknya aku bisa menolong anak itu."

"Tapi itu cincin...kan..mahal..." Denise terperangah.

"Itu untuk kamu. Kalau kamu tidak mau, cincin itu tidak ada artinya lagi bagiku." Wajahnya beku.

Denise shock. Ia memandangi wajah Ko Edward lekat-lekat. Apa dia marah? Atau mengejek? Atau jujur?

Denise membenamkan diri ke jok mobil. Tidak ada gunanya lagi ia memikirkan semua itu. Ko Edward bukan siapa-siapa lagi untuknya. Hanya seorang pemuda yang mengantarkannya pulang ke rumah.

Aiss..kaget di lokal supermarket ada sosis daging buaya. Slogannya keren pulak! BITE BACK!!

Gambar cincin diambil dari https://www

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gambar cincin diambil dari https://www.securityjewelers.com/media/catalog/product/cache/1/small_image/350x350/9df78eab33525d08d6e5fb8d27136e95/6/p/6prong.jpg

Gambar gadis menangis diambil dari http://www.la.lv/wp-content/uploads/2013/12/seeras-664x488.jpg

Gambar sosis buaya diambil dari koleksi pribadi

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang